[Jalan-Jalan] Mengintip Kehidupan di Kebun Belakang

Apa yang muncul di benak Anda ketika pertama kali mendengar kata kebun belakang? Kemungkinan besar jawabannya adalah sebuah kebun yang berada di belakang rumah. Tapi, kira-kira bagaimana bentuknya? Apa saja yang ada di dalamnya? Kehidupan seperti apa sih yang terjadi di sana? Nah, kali ini saya akan mengajak Anda untuk mengintip sebuah kehidupan di “Kebun Belakang”, tempat yang ide utamanya adalah untuk pemenuhan kebutuhan hidup harian namun berkembang menjadi tempat yang dapat menginspirasi orang lain untuk bergerak bersama ritme alam.
Berlokasi tepat di pinggir jalan Pesantren, Cimahi, tempat ini sempat menimbulkan rasa ragu di hati saya. Lokasinya terbilang cukup “kota” karena berdampingan dengan ruko besar dan beberapa rumah mewah. Ketika sampai, tampak pagar hitam yang cukup tinggi sehingga menutupi pandangan orang luar yang ingin melihat ke dalam. Tidak berapa lama, pagar hitam pun dibuka oleh Teh Ivana. Teh Ivana adalah pemilik dari Kebun Belakang. Saya dan teman saya disambut dengan hangat dan dipersilahkan masuk.
Begitu masuk, kami melihat area cukup luas yang disiapkan untuk tempat parkir dan sedang ada dua mobil terparkir di sana. Berjalan sedikit ke arah kanan, kami melihat bangunan rumah mungil dengan jalan kecil di sisi luarnya yang terhubung dengan area tempat duduk di luar bangunan rumah. Teh Ivana mempersilakan kami untuk duduk sembari memanggilkan Kang Misbah, suami Teh Ivana yang kemudian lebih banyak bercerita tentang Kebun Belakang.
Kang Misbah pun datang dan menyambut kami dengan hangat lalu bercerita tentang kondisi Kebun Belakang. Ternyata, Kang Misbah sedang memperbaiki green house. Ia mengganti tiang greenhouseyang dulunya memakai materi bambu dengan baja ringan. Hal ini disebabkan kondisi bambu yang sudah lapuk dikhawatirkan dapat roboh. “Dengan baja ringan akan lebih awet.”, katanya.
Di musim kemarau ini, Kang Misbah sedang fokus membereskan kebun, menyiapkan benih, sambil mencoba mengumpulkan jerami dan lumpur untuk membangun gudang. Kami kemudian  diajak melewati jalan setapak di tengah kebun  menuju saung yang letaknya berada di bagian paling belakang dari area yang mereka miliki.
Begitu melihat kebun, kita dapat langsung melihat beberapa raised bedyang biasa ditemukan pada kebun yang menggunakan prinsip permakultur. Di dalam setiap raised bed terdapat berbagai jenis tanaman.  Kang Misbah mengolah berbagai tanaman ini untuk kebutuhan pangan harian dan produksi water kefir yang ia titipkan di beberapa tempat untuk dijual.
Tampak depan Kebun Belakang.

Semakin berjalan ke arah dalam kebun, semakin hening suasana terasa, semakin dalam pula isi perbincangan kami. Kang Misbah menceritakan bagaimana perjalanannya “berjumpa” dengan konsep permakultur pertama kali pada tahun 2015 yang kemudian berkembang hingga saat ini.
Bermula dari menanam selada di lahan seluas 7 x 5 meter, Kang Misbah mulai membuka usaha toko sayuran di tempat tersebut. Saat itu, Kang Misbah dan keluarga tinggal di daerah yang cukup jauh dari lokasi kebun. Lama kelamaan, karena Kang Misbah dan keluarga merasa lelah dengan perjalanan bolak balik antara kebun dan rumah, akhirnya mereka memutuskan untuk berpindah, tinggal di lahan kebun yang mereka namai Kebun Belakang.

Setelah Kang Misbah sekeluarga tinggal di area Kebun Belakang, lahan kebun menjadi lebih terawat karena sudah menjadi tempat tinggal sendiri. Di fase ini, Kang Misbah mulai memaksimalkan lahan seluas 1.600 meter dengan menanam berbagai jenis tanaman sesuai zonasi, membangun kandang ayam, mendirikan saung, dan lain sebagainya. Kang Misbah mengungkapkan bahwa semua sumber pendapatan berasal dari kebun. Apalagi setelah mendirikan saung, pemanfaatan kebun menjadi lebih banyak. Bisa dipakai untuk bermain, workshop kecil-kecilan, dan menjadi destinasi kunjungan sekolah.
Saung di ujung kebun
Semua keputusan yang diambil Kang Misbah dan Teh Ivana saat ini tak lepas dari pengalaman mereka yang sempat tinggal 4 tahun di Swedia dan kunjungan Kang Misbah ke sebuah daerah di Thailand pada tahun 2015. “Kita belajar orang gak diseragamkan. Mereka gaknuntut kamu punya pendidikan tinggi, selama kamu capable, kamu diterima.” ungkap Kang Misbah yang sempat mengalami culture shock di Swedia. Saat tinggal di Swedia, mereka jadi lebih concern soal pendidikan, kebebasan berekspresi, dan lebih banyak bereksplorasi tentang tumbuh kembang anak. Di Thailand berbeda cerita. Kang Misbah terinspirasi dengan bagaimana sekelompok masyarakat begitu menikmati hidup, apa yang mereka rasa baik mereka jalankan, meski tidak ada kampanye besar-besaran. Semua berjalan seperti apa adanya saja. Dari situ Kang Misbah mulai fokus pada diri sendiri dan keluarga – berjalan lebih pelan mengikuti ritme alam.
Banyak perubahan yang terjadi pada diri Kang Misbah semenjak berprofesi sebagai petani. Sifatnya dulu yang temperamental lambat laun berubah menjadi lebih tenang. Ia merasa lebih berdaya karena apa yang ia dan keluarganya konsumsi tidak perlu tergantung pada orang lain. Dengan menanam sendiri, rasa makanan yang dimasak lebih nikmat dan disukai anak-anaknya. Kang Misbah merasa lebih mandiri. “Saya bisa bebas, tapi juga mengurus diri sendiri dan keluarga, ini merupakan kebebasan level “Wah”. Saya merasa aman, meski cara hidup berbeda dengan orang kebanyakan. Saya gak kelaparan, lebih ke pasrah, jadi lebih rileks, lebih bebas lagi.”, cerita Kang Misbah siang itu.

 Dari kiri ke kanan: Rencana green house, kandang ayam dan lahan padi di Kebun Belakang

Saat ini, Kang Misbah berharap setidaknya 50% kebutuhan hidupnya bisa dicukupi dari kebun. Ia merasa bahwa pemenuhan kebutuhan hidup bergantung pada gaya hidup, “Bisa saja hasil dari kebun ini mencapai 100% jika saya tinggal di gunung. Kalau sudah begitu, saya nggak usah cari tambahan buat beli pulsa.” ungkapnya sambil tersenyum.
Kami pun diajak berkeliling kebun. Melihat padi, juga bunga matahari dan rosella yang sedang berbunga. Kami juga diajak ke kandang tempat ayam-ayam pelung. dipelihara. Benda yang menarik adalah tungku yang dibuat menggunakan lumpur dan jerami. Kang Misbah menggunakan batang pisang sebagai cetakan lubang tungku yang menahan bentuk sampai campuran materi kering seutuhnya.
Setelah puas berkeliling, Kang Misbah mengajak kami kembali ke tempat duduk di samping rumah utama. Ternyata sudah ada makan siang disiapkan Teh Ivana. Oh ya, selama berbincang, kami dijamu dengan setandan pisang kepok hasil kebun yang besar-besar dan manis sekali.
Makan siang yang disiapkan oleh Teh Ivana
Saya baru menyadari bahwa posisi rumah itu berada di antara hiruk pikuk jalanan dan kebun belakang yang tenang. Rumah itu berada di tepian. Tepian pada permakultur yaitu tempat di mana dua habitat bertemu. Biasanya wilayah ini lebih produktif dan kaya akan keberagaman.

Pengalaman perjalanan saya kali ini memberi kesegaran dan inspirasi baru tentang kebun di tengah kota. Apakah Anda berminat berkunjung ke Kebun Belakang? Silakan mengatur janji terlebih dahulu via DM instagram @kebunbelakang, ya!

Tungku di Kebun Belakang, yang dibuat dari lumpur dan jerami serta batang pisang sebagai penyangga.

Debby Josephine

Debby Josephine

Lahir di Bandung, Jawa Barat, pada 1 February 1992, wanita yang memiliki nama lengkap Debby Josephine ini mulai aktif berkegiatan pada komunitas sosial semasa kuliah di jurusan Pedagogik, Universitas Pendidikan Indonesia. Lulus pada tahun 2014 membuatnya leluasa menjejaki lebih dalam tentang isu-isu sosial dan pendidikan, khususnya pendidikan anak. Bersama 3 orang rekannya, ia mendirikan Rumput Kecil, komunitas yang bergerak melalui dongeng. Adapun Beberapa organisasi yang pernah diikutinya antara lain; Sahabat Kota, Creative Net, Save the Children, dan kini mulai aktif menjadi bagian dari KAIL. Penikmat langit dan kopi kintamani ini seringkali meluangkan waktu untuk bersendiri, sehingga tak jarang ia mendapatkan ide-ide cerita yang dituangkan dalam beberapa skenario pentas teater dan dongeng, salah satu cerita anak yang dapat diakses adalah “Biji” pada serial pertama Rumput Kecil.

Related Posts

[Jalan-jalan] Menjelajahi Tierra Valiente – Kostarika

[Jalan-jalan] Menjelajahi Tierra Valiente – Kostarika

[Jalan-jalan] Tiga Hari di Kampung ‘Lawang Angin’

[Jalan-jalan] Tiga Hari di Kampung ‘Lawang Angin’

[Jalan-jalan] Sonya’s Garden

[Jalan-jalan] Sonya’s Garden

[Jalan-jalan] Temu Kangen di Pasar Sehat 2022

[Jalan-jalan] Temu Kangen di Pasar Sehat 2022

No Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

edisi

Terbaru

Rubrik

Recent Comments

STATISTIK

Online User: 0
Today’s Visitors: 8
Total Visitors: 32862

Visitors are unique visitors