[PROFIL] Mengikatkan Diri untuk Memerdekakan Masa Depan

Oleh: Deta Ratna Kristanti 

Prof. Hendra Gunawan

Jika kita berbicara tentang kemerdekaan, biasanya kita mengaitkannya dengan kebebasan. Kebebasan berpikir, berbicara, bertindak merupakan tiga hal yang sering digadang-gadang sebagai indikator kemerdekaan. Kemerdekaan juga digambarkan sebagai situasi di mana orang tidak terbelenggu oleh tekanan atau tuntutan dari pihak lain terhadap dirinya.

Kemerdekaan seringkali diidentikkan dengan situasi tanpa keterikatan, karena keterikatan seringkali diartikan sebagai belenggu yang membatasi kebebasan. Apakah orang yang mengikatkan diri berarti menanggalkan kemerdekaannya? Bagi seorang Hendra Gunawan, seorang matematikawan dan inisiator anakbertanya.com, kesediaannya mengikatkan diri pada tujuannya justru menjadi kunci keberhasilan untuk mewujudkan mimpi-mimpinya.

Anak-Anak yang Merdeka: Siap Menghadapi Tantangan Zaman dengan Budaya Bernalar 

Apa mimpi Pak Hendra? Salah satu mimpi Pak Hendra adalah mewujudkan anak-anak yang siap menghadapi tantangan pada zamannya, sekitar 30 tahun ke depan. “Tiap anak itu punya potensi untuk memecahkan masalah, mereka punya potensi untuk mencipta. 30 tahun ke depan, anak-anak ini berada di puncak karier, dan mereka yang akan menjadi pemimpin. Yang kita lakukan itu bertujuan menggugah anak-anak untuk mau membekali diri mereka dengan kemampuan bernalar dan mencipta. Dan apa yang diciptakan anak-anak itu bisa baru, orisinil dari mereka” tutur Pak Hendra. Bagi Pak Hendra, kemerdekaan berarti bebas dari kungkungan pihak lain/ aturan yang dibuat turun temurun baik yang tertulis maupun tidak, leluasa melakukan apa yang ingin dilakukan, termasuk yang selama ini ia perjuangkan bersama teman-temannya: kemerdekaan berpikir, bertanya, dan mendefinisikan sesuatu yang baru.

Dalam kurun waktu 71 tahun kemerdekaan Indonesia dan di masa yang akan datang, kemerdekaan untuk anak masih penting untuk terus disuarakan dan diupayakan karena tantangan setiap zaman berbeda. Pada saatnya, pengetahuan dan konsep yang kita anut akan usang juga. Perlu konsep baru, perlu upaya berbeda. Karena itu, anak-anak perlu merdeka untuk berpikir dan bertindak, tidak boleh terkungkung oleh guru atau orang tuanya, sehingga dapat mengembangkan kualitas dirinya. Mahasiswa jangan sampai merasa dikungkung kebebasan berpikirnya oleh dosen. Guru-guru sebagai pendidik juga tidak boleh terkungkung perkembangannya karena terbentur kurikulum, sehingga ada peningkatan dan pengembangan kualitas guru. Kemerdekaan bernalar tidak boleh sampai tertindas oleh regulator, atau orang yang (merasa) lebih senior. Menurut Pak Hendra, kemerdekaan penting untuk peningkatan kualitas, karena merupakan solusi atas waktu dan zaman yang bergerak terus. Kurikulum Indonesia, menurut Pak Hendra, membuat anak tidak merdeka dan cenderung ketinggalan zaman. Kurikulum di Indonesia cenderung membuat anak dan guru terjebak pada urusan administrasi, tidak membuka ruang bagi anak untuk mengembangkan budaya bernalar, dan tidak memberi ruang pada guru untuk berkembang dan meningkatkan kualitasnya.

“Anak-anak yang menjadi “boneka” itu mekanis, jadi seperti robot, karena ada pengendalinya, dikendalikan oleh pihak lain, dalam hal ini kurikulum. Anak-anak hanya tahu kulitnya, misalnya hanya tahu rumusnya saja. Mereka nggak bisa berbuat apa-apa kalau nggak di-input, Hanya anak-anak yang bisa mempertahankan kemerdekaan berpikir yang bisa memimpin, bisa lepas dari kungkungan zamannya. Tokoh seperti Sukarno bisa melampaui tantangan zamannya, karena memiliki inovasi, daya kreatif,”, kata Pak Hendra tentang kemerdekaan anak.

Kemerdekaan juga terkait berani mewujudkan. Dalam hal ini keberanian dalam arti “courage” bukan “brevity”, yaitu mewujudkan apa yang dia pikir menjadi masalah di masa depan. Misalnya orang-orang yang menciptakan ponsel pintar, dia bisa berpikir sejak10 tahun sebelumnya. Orang yang tidak merdeka adalah yang bilang bahwa hal itu tidak mungkin (ada). Kemerdekaan itu dibutuhkan untuk melompat, melampaui zamannya. “Anak-anak perlu didorong untuk membuat sesuatu, bukan sekedar untuk Indonesia, tapi hingga menyumbang karya untuk peradaban, Karya harus terus bermunculan. Saya rasa salah satu bentuk kemerdekaan ya bisa berpikir out of the box. Tidak semua orang bisa seperti Soekarno, hanya orang-orang tertentu yang bisa membuat prediksi untuk 50 tahun yang akan datang.”

Pada tanggal 18 Mei 2013, Prof. Hendra Gunawan dan Prof. Iwan Pranoto dari ITB, Gustaff Hariman Iskandar dari Common Room, Alexander Iskandar dari Eureka, Avivah Yamani dari Langit Selatan dan beberapa rekan lainnya mengadakan STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts and Mathematics) Festival dengan tujuan mengampanyekan budaya bernalar. Setelah festival diadakan, Pak Hendra merasa misi yang dibawa harus dilanjutkan dalam bentuk lain. “Membangun budaya bernalar itu sesuatu yang penting. Maka saya mengikatkan diri dengan tujuan tersebut, karena ini penting untuk dilanjutkan, dilakukan, juga terutama bagi anak-anak” Awalnya Pak Hendra memiliki ide membangun sekolah virtual, “Sudah sempat mengonsep dan mencari orang-orang yang bisa berkontribusi pada produknya. Namun kemudian ternyata saya lihat, tidak mudah juga.” Pak Hendra lalu berdiskusi dengan salah satu temannya, Bapak Hadi Nitiharjo, Kepala SOS Desa Taruna Kinderdorf, Lembang. Setelah berdiskusi panjang, kemudian keluarlah ide untuk mengetahui: Sebenarnya apa yang dibutuhkan anak-anak? Apa yang ingin anak-anak ketahui? Apa yang ingin mereka pelajari?

Berangkat dari hasil diskusi tersebut, Pak Hendra lalu menggagas Anak Bertanya Pakar Menjawab (www.atpj.com, sekarang menjadi www.anakbertanya.com), sebuah pintu atau media virtual yang disediakan bagi anak untuk menanyakan berbagai hal menarik yang ingin diketahuinya. Dari pertanyaan yang diajukan, tim anakbertanya.com mencarikan jawaban dari para ahli, atau orang yang berkemampuan menjawab sesuai dengan bidangnya. “Ada misi lain yang ingin diwujudkan oleh anakbertanya.com, yaitu mempertemukan anak dengan tokoh yang menjawab pertanyaannya. Mudah-mudahan, orang yang menjawab pertanyaan dapat menjadi sosok panutan atau tokoh idola dari anak-anak itu” Pak Hendra melihat, di Indonesia, anak-anak kekurangan sosok panutan. “Seolah-olah, orang hebat itu harus politisi, artis atau pengusaha yang punya jabatan atau ngetop. Dan sayangnya, banyak di antara mereka yang menjadi terkenal atau memperoleh jabatannya bukan karena kepakaran mereka dalam ilmunya. Memangnya bangsa ini bisa besar jika dikawal tiga golongan itu? Sementara di luar banyak orang hebat yang modal utamanya ilmu mereka. Mereka-mereka inilah yang dapat menjadi panutan bagi anak-anak” tutur Pak Hendra. Pak Hendra juga mengumpulkan profil-profil tokoh-tokoh hebat dunia dalam laman www.indonesia2045.com

Lewat anakbertanya.com, Pak Hendra ingin menggabungkan 3 hal: sosok – bidang keilmuan dan dunia kerja/ profesi. “Dunia sekolah itu inginnya menyiapkan anak untuk punya profesi, tapi ya mesti ditopang oleh keilmuan. Anak-anak harus punya cita-cita supaya tahu dan bisa memilih profesi sesuai dengan minatnya.”

Pak Hendra juga memiliki alasan personal ketika menggagas gerakan Anak Bertanya. “Saya punya anak. Beberapa teman yang bersama saya menggagas ini juga. Saya bisa saja hanya membekali anak saya dengan kemampuan bernalar yang baik. Namun, kalau saya hanya memikirkan anak saya, anak saya nantinya juga tidak akan hidup, karena nanti ia akan hidup dengan anak-anak lainnya. Saya juga harus memerdekakan anak-anak yang lain. Kalau kita memikirkan sesuatu secara intens, pasti nanti ada jalannya.. Misalnya saja, ide tentang menampilkan sosok panutan. Ketika saya punya anak, saya juga perlu bacaan untuk anak saya. Suatu saat, kebetulan ada Seri Buku Tokoh Dunia untuk anak. Ada tokoh-tokoh hebat yang ditampilkan. Dari Indonesia siapa? Saya terinspirasi oleh penulisnya yang mengatakan, ‘Saya bukan orang besar tapi ingin menghadirkan orang-orang besar’.”

Dari Online ke Offline: Memperluas Kesempatan Berjumpa Panutan

Gerakan Anak Bertanya memang berbasis dari blog, yang tujuannya mempertemukan pakar dengan anak-anak di dunia maya. “Nah, jadi tantangan juga buat pakar, bagaimana berkomunikasi dengan anak-anak. Menjawab pertanyaan anak-anak lewat tulisan di blog.”

sumber foto: http://semipalar.sch.id/?p=2941)

Pak Hendra juga membuat acara offline Anak Bertanya Pakar Menjawab. Acara pertama diadakan bulan November 2013 di SOS Kinderdorf Lembang berbarengan dengan peluncuran gerakan Anak Bertanya Pakar Menjawab. Acara yang kedua diadakan di Rumah Belajar Semi Palar, Jalan Sukamulya, Bandung. Di kedua acara tersebut, tim Anak Bertanya mengumpulkan banyak pertanyaan dari anak-anak yang kemudian diunggah ke laman Anak Bertanya setelah dijawab oleh pakar yang tepat. Selain mengumpulkan pertanyaan, Pak Hendra juga menggandeng beberapa komunitas yang terbiasa berkegiatan dengan anak-anak untuk menampilkan berbagai kegiatan menarik bagi anak-anak, di antaranya mencoba roket air, membuat kacamata 3D dan awan di dalam botol, dan berbagai percobaan sains. Pertanyaan-pertanyaan anak-anak ini juga sudah dibukukan dalam beberapa jilid buku Anak Bertanya Pakar Menjawab.

Langkah selanjutnya, Anak Bertanya menyelenggarakan Festival Anak Bertanya di tahun 2015 dan 2016. “Di Festival Anak Bertanya, anak-anak dipertemukan langsung dengan pakar dari lembaga-lembaga dengan tema yang berbeda-beda. Penyelenggara perannya menjadi “toko serba ada”. Anak-anak bisa bertanya di booth-booth lembaga, komunitas-komunitas juga masih ada yang perlu memperkenalkan diri. Jadi win-win untuk semua,” kata Pak Hendra.

Dalam keseharian, Pak Hendra lebih banyak berjumpa dengan orang dewasa, karena itu untuk menghadapi anak-anak, ia memiliki trik tersendiri. “Tidak serta merta saya langsung berinteraksi dengan anak-anak. Seperti saat acara pertama Anak Bertanya Pakar Menjawab di SOS Kinderdorf Lembang, saya bawa “pasukan” teman-teman yang biasa berinteraksi dengan anak-anak, seperti Kak Avivah Yamani dari Langit Selatan, Kang Robi DC dari Ensembel Tikoro , Karina Adistiana dari Peduli Musik Anak, waktu itu ikut juga. Ini salah satu ciri khas Anak Bertanya, crowded funding, melibatkan teman-teman dari banyak komunitas yang biasa berinteraksi dengan anak. Kalau saya lebih berperan menggagas saja.”

Memerdekakan Masa Depan

Pak Hendra membayangkan di tahun 2045, kalau Indonesia masih tetap eksis (itu masih peluang juga, katanya) dan menjadi lebih baik, orang-orang yang mengawal negeri ini terinspirasi, tercerahkan dan memiliki cita-cita tinggi, maka itulah kontribusi laman anakbertanya.com. Misalnya seorang anak menjadi ilmuwan hebat karena terinspirasi datang ke seminar misalnya dan bertemu dengan ilmuwan idolanya. Seperti Neil Tyson, seorang astrofisikawan dunia yang tertarik mempelajari bidang astrofisika karena pengalaman belajarnya bersama Mark Chartrand III, direktur Planetarium dan Carl Sagan, seorang astronomer dari Cornell University. Di bidang lain, ada Joseph Schooling seorang perenang yang mengalahkan idolanya, perenang Michael Phelps pada pertandingan 100 meter gaya kupu-kupu di Olimpiade Rio beberapa minggu yang lalu. Pada tahun 2008, Schooling masih menjadi anak sekolah yang ngefans dengan Phelps. Namun delapan tahun kemudian, Schooling bahkan memenangkan medali emas mengalahkan Phelps di kejuaraan tingkat dunia.

Masa kecil menurut Pak Hendra penting karena memungkinkan seorang anak bertemu sesuatu yang bisa berkaitan dengan bakatnya, juga tokoh panutannya. Sementara sekarang ini di Indonesia masih banyak anak yang tidak berkarya sesuai dengan bakatnya, karena kesempatan itu belum banyak tersedia juga belum difasilitasi orang dewasa di sekitar anak. “Terhadap Joey Alexander, saya kagum, tapi saya lebih kagum lagi pada orang tuanya, karena memberi ruang, bahkan berani pindah mengikuti bakat si anak. Sementara, di sisi lain, sekarang banyak guru atau ortu jadi “pagar” anak. Pagar diperlukan tapi jangan sampai membatasi anak, Guru dan orang tua mestinya membuat anak justru bisa melampaui dirinya dengan kemampuannya.”

Sementara itu, mahasiswa yang dihadapinya sehari-hari punya karakter yang berbeda dari anak-anak. “Untuk level mahasiswa, saya ingin menantang anak-anak muda, bisa apa dengan gadget yang kamu punya, bisa berbagi sesuatu yang original/ ide dari diri sendiri, Untuk apa punya gadget canggih kalau penggunaannya tidak optimal. Janganlah bertanya sesuatu yang jawabannya sudah ada di Google. Kita harus berpikir satu langkah ke depan daripada Google. Tingkat mahasiswa seharusnya sudah bisa produksi game sendiri” imbuh Pak Hendra.

Menyiapkan anak untuk tantangan masa depan seringkali dikaitkan dengan kehidupan berkompetisi dan berkolaborasi. Bagi Pak Hendra, sangat disesalkan jika kemampuan kita digunakan untuk berkompetisi dengan orang lain. Baginya, kompetisi merupakan upaya kerja keras untuk melawan diri sendiri, berjuang untuk mencapai misi pribadi. Misi pribadi kita mestinya mendukung misi besar dan dengan demikian kita perlu berkolaborasi. Makanya, anak perlu punya cita-cita, sehingga tahu langkah-langkah yang harus dilakukan. Sehingga kalau orang tua memasukkan anaknya ikut les, kursus dan sebagainya, lesnya itu menjadi bermakna.

Mimpi-mimpi Pak Hendra yang lain ia wujudkan dalam dua buah buku yang telah ditulisnya: Lingkaran dan Menuju Tak Terhingga. Dalam kedua buku tersebut, Pak Hendra menulis dengan bercerita. “Jadi tidak seperti textbook, tapi ada sejarahnya juga. Seperti di buku Lingkaran, saya sebut “hantu” Lingkaran, tapi ini “hantu” yang kita mau pecahkan misterinya bersama-sama.” Tambahnya,”Selain menjadi dosen, saya punya tujuan-tujuan lainnya, menulis buku, mengisi blog.”

Sekali lagi, Pak Hendra menekankan , untuk mewujudkan mimpi kita perlu punya keinginan kuat dan mengikatkan diri pada tujuan tersebut. “Makanya saya tidak terlalu terpengaruh pada penggantian-penggantian menteri, mau pejabatnya ganti, presidennya ganti, saya sudah punya tujuan saya, yang penting untuk saya wujudkan.”

Profil:

Prof. Hendra Gunawan
Dosen Matematika ITB 1988 – sekarang
Blogger sejak 2013:
www.indonesia2045.com, www.anakbertanya.com, www.bersains.wordpress.com, www.bermatematika.net
Inisiator Anak Bertanya 2013: Blog ditampilkan sejak Mei 2013, Peluncuran gerakan di November 2013

editor

editor

Related Posts

[Tips] Perubahan Mental Model, Awal Transformasi Kehidupan

[Tips] Perubahan Mental Model, Awal Transformasi Kehidupan

[Pikir] Kontrol Emosi, Jaga Diri : Belajar dari Kaum Stoa

[Pikir] Kontrol Emosi, Jaga Diri : Belajar dari Kaum Stoa

[JALAN-JALAN] Membangun Mimpi lewat Membaca

Editorial Pro:aktif Online Edisi Agustus 2016

No Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

edisi

Terbaru

Rubrik

Recent Comments

STATISTIK

Online User: 0
Today’s Visitors: 11
Total Visitors: 32865

Visitors are unique visitors