![[Masalah Kita] Transformasi Diri](https://proaktif.kail.or.id/wp-content/uploads/2022/06/Masalah-kita-3-3963577.png)
[Masalah Kita] Transformasi Diri
Apakah Anda sedang mengalami proses jatuh bangun berulang kali secara intens untuk mengubah suatu kebiasaan?
Apakah perubahan sejati kemudian sungguhan terjadi?
Bagaimana caranya agar transformasi diri dapat berlangsung menyenangkan?
Mari kita ikuti dua kisah berikut ini untuk memperoleh gambaran jawaban terkait ketiga pertanyaan tersebut.
Kisah Satu – Adalah seorang ibu yang berorientasi pada kesempurnaan. Ia menerapkan semua pengetahuannya tentang asuh-asah-asih, menyusun waktu penyelesaian tugas rumah tangga secara detail, serta tetap berupaya belajar mengembangkan diri dan berkarya sesuai bidang keilmuannya. Dengan begitu, ibu merasa puas karena meski masih banyak kekurangan, namun ia sudah berusaha yang terbaik, dan hasilnya cukup memenuhi tuntutan normatif.
Seiring waktu, cakupan tugasnya bertambah banyak. Terkait pengasuhan, buah-buah hatinya lahir. Terkait rumah tangga, dari adanya beberapa asisten kemudian berkurang dan lalu akhirnya sang ibu memilih mandiri tanpa asisten dalam mengurus rumah tangganya. Terkait karir, tanggung jawabnya lebih besar daripada sebelumnya. Ragam tuntutan yang meningkat, disertai hasrat besar untuk menyelesaikan semuanya secara mandiri dan sempurna, tanpa diikuti strategi pemberdayaan yang memadai dalam penyelesaian tugas, pada akhirnya membuat ibu merasa tertekan.
Ibu mulai mudah marah saat anak-anak tidak menuruti arahannya. Meski setiap kali ia menyesal, dan ia langsung total berupaya menyusun rencana perubahan, namun hasilnya sia-sia belaka. Semakin hari, sang amarah semakin tak dapat ia kendalikan. Dari membentak, ia memaki. Tak cukup memaki, ia mulai mengutuk. Penyesalannya setiap hari juga semakin dalam – seiring dengan angkara murkanya yang semakin besar. Sungguh proses jatuh bangun yang sangat melelahkan!
Setelah jatuh bangun setiap hari selama 4 tahun, ibu sampai pada sebuah momen diam mutlak. Momen diam mutlak itu diawali (lagi-lagi) dengan ledakan amarah, yang (seperti biasa) diikuti dengan penyesalan mendalam. Namun kali ini, ibu tidak lagi berupaya untuk mengolah penyesalannya menjadi rencana perubahan, karena ia tahu, bahwa hasilnya akan sama saja, atau malah memperburuk keadaan. Ia tidak lagi berani mengharapkan apa-apa. Ia sadar, bahwa ia bukan ibu yang baik, meski ia selalu berusaha total untuk itu. Namun pada kenyataannya, ia adalah… ibu-yang-tidak-baik. Ia mengakui dan menerima keburukannya secara utuh. Ia terdiam selama beberapa waktu… 100% diam.
Tiba-tiba, ibu seperti melihat secercah cahaya lembut di atasnya. Lalu tubuhnya seperti terangkat ringan, dari dasar lapisan bumi yang paling dalam, menuju ke cahaya tersebut di permukaan. Dan ibu kembali berada pada momen sekarang… di rumahnya. Seperti terbangun dari tidur, ibu mendekati anaknya pelan-pelan. Tak ada kata maaf, atau kata apapun yang keluar. Ia sekedar duduk di samping anaknya yang sedang menonton TV. Namun anehnya, sejak momen diam mutlak itu, ibu tidak lagi suka marah seperti orang gila. Perubahan bergulir secara alamiah tanpa ia upayakan dengan sengaja. Sujud syukur pun hadir begitu saja secara tenang, tanpa kegirangan yang meluap-luap.
Kisah jatuh bangun ibu dalam mengendalikan angkara murka menunjukkan bahwa titik balik perubahan terjadi dalam momen diam mutlak. Pada momen itu, ibu berhenti menghakimi diri, orang lain, dan kenyataan. Ibu menerima apapun yang ada, secara apa adanya. Menurut Kabat – Zinn (1990), non-judgement (stop menghakimi) dan acceptance (penerimaan) termasuk aspek kunci dalam intervensi dengan berkesadaran.
Kisah Dua – Adalah seorang bapak yang mudah jatuh cinta tidak pada tempatnya. Ketika kuliah, ia berselingkuh dari pacarnya. Setelah berumah tangga, ia berselingkuh dengan teman kantornya. Ia bahkan berselingkuh juga dari selingkuhannya ini. Bapak kerap menjalin hubungan cinta dengan beberapa wanita dalam periode waktu yang sama.
Meskipun demikian, ia tetap mengalami konflik batin. Di satu sisi, bapak tidak ingin menyakiti orang-orang yang dicintainya, sehingga ia menjalin hubungan cinta paralel tersebut secara diam-diam. Namun di sisi lain, ia tidak berdaya menahan cintanya yang bergelora. Bapak terus berupaya memelihara cinta paralelnya, meski ia sadar bahwa hal tersebut tidak mungkin terus berlangsung.
Bapak pernah mencoba memutuskan suatu hubungan. Namun ia cenderung segera mencari cara untuk dapat memperbaiki dan menjalin kembali relasi cintanya. Begitu terus berulang kali, hingga pada akhirnya ia merasa lelah dengan daya upayanya sendiri, yang tak mampu ia pertahankan secara konsisten. Dalam kubangan putus asa dan lemah daya, batinnya utuh berbisik: “Tuhan, saya lelah, tolonglah saya lepas dari lingkaran setan ini.”
Tak lama kemudian, bapak berjumpa dengan teman lamanya. Setelah perjumpaan tersebut, komunikasi mereka berlanjut. Awalnya hanya seminggu sekali, sekedar menanyakan kabar; lama-lama berkembang setiap hari, bahkan akhirnya sepanjang hari senantiasa terjalin obrolan bersama di tengah aktivitas masing-masing. Tanpa sadar, komunikasi intens dengan teman lamanya ini juga berkembang menjadi sebuah hubungan percintaan, menambah jumlah deretan hubungan cintanya.
Namun tidak seperti biasanya, cintanya kali ini terasa sangat mendalam. Bapak merasa menemukan cinta sejati, yang menjawab semua kebutuhannya, dan membuatnya rela berkorban. Bapak memutuskan untuk pindah agama, demi meresmikan poligami yang dijalaninya. Ia bertanggung jawab penuh dan menjaga komitmen poligaminya sesuai ajaran agama yang dianutnya. Setelah poligami dilakukan secara terbuka dan bertanggung jawab, tidak lagi secara sembunyi-sembunyi untuk keuntungan sendiri, kebiasaan jatuh cinta tidak pada tempatnya pun berhenti.
Lika liku perjalanan cinta sang bapak menunjukkan bahwa eksplorasinya yang luas dan dalam kemudian membantunya dalam menemukan pilihan yang tepat dan berkomitmen bulat atas pilihannya. Menurut Marcia (1993), eksplorasi dan komitmen merupakan dua unsur utama yang menentukan kondisi / status identitas seseorang, yang wajar dialami oleh individu, mulai remaja hingga tutup usia; dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam hubungan cinta dan agama (Adams & Marshall, 1996, dalam Adams, 1998).
Penutup. Kedua kisah di atas menunjukkan bahwa perubahan sebuah kebiasaan berlangsung melalui proses jatuh bangun yang intens, sebelum kemudian membuahkan hasil perubahan yang nyata. Bagaimana agar proses jatuh bangun dapat berlangsung menyenangkan? Barangkali keinginan dan sikap menolak rasa sakit / penderitaan itulah yang membuat proses jatuh bangun menjadi tidak menyenangkan. Stop menghakimi kejadian, dan menerima proses yang sedang berlangsung sebagaimana adanya, akan membantu perjalanan transformasi diri bergulir lancar, tahu-tahu sudah terjadi perubahan secara alamiah.***
(Pustaka: berbagai sharing pengalaman; Pilar Kesadaran dari Kabat & Zinn; Status Identitas dari James Marcia; Sumber Gambar: kanya.id; muslima.hops.id; dedyhidayatblog.wordpress.com).
No Comment