[Jalan-jalan] Jalan-jalan ke Nausus – Mendengarkan Visi Tiga Batu Tungku

[Jalan-jalan] Jalan-jalan ke Nausus – Mendengarkan Visi Tiga Batu Tungku

jalan-jalan-1
Pemandangan dari Batu Nausus (Sumber: Dokumentasi KAIL)

Pada bulan November 2017 yang lalu Tim KAIL memfasilitasi proses penguatan organisasi Pokja OAT, sebuah organisasi masyarakat adat di Timor Tengah Selatan. Tim KAIL yang terlibat dalam kunjungan ini adalah saya, Siska, Umbu, Debby dan Didit. Salah satu proses yang dibawakan dalam kegiatan tersebut adalah merumuskan visi pribadi. Tulisan ini berisi pengantar singkat tentang apa itu Pokja OAT, kondisi alam dan masyarakat yang mereka dampingi serta beberapa contoh visi yang dihasilkan dari proses ini.

 

Sekilas tentang Pokja OAT, Kondisi Alam dan Masyarakat Timor Tengah Selatan

Pokja OAT adalah singkatan dari Kelompok Kerja Organisasi A’Taimamut. Pokja OAT berdiri sejak tahun 1999 dan dipimpin oleh Mama Aleta Baun. Pokja OAT bertujuan untuk menjadi organisasi yang hidup di tengah masyarakat yang bisa mengakomodir semua kegiatan dari luar dan dalam untuk mengambil keputusan mengenai kehidupan mereka. Organisasi ini memayungi tiga tungku (tiga komunitas adat), yaitu Mollo, Amanatum dan Amanuban. Organisasi ini telah cukup lama bekerja di wilayah tersebut. Wilayah adat tersebut mencakup gunung-gunung batu, padang-padang gembala ternak dan daerah hutan yang indah dan kaya, antara lain dengan madu dan kayunya.

 

jalan-jalan-2
Kondisi alam Nausus (Sumber: Dokumentasi KAIL)

Secara umum, masyarakat di wilayah adat ini hidup sebagai petani dan peternak. Hasil pertanian yang biasa dikonsumsi di antaranya adalah ubi kayu, ubi jalar, keladi, jagung. Selain itu, masyarakat juga memiliki ternak (babi, sapi) yang akan dijual untuk memenuhi kebutuhan jika hasil pertanian tidak mencukupi. Sistem pengelolaan pertaniannya adalah upah atau bagi hasil antara pemilik tanah, perawat dan pekerja. Bagi hasil terbesar adalah untuk pekerja. Di beberapa tempat masih berlaku sistem barter antara uang dengan barang.

 

Berdirinya Pokja OAT berawal dari perjuangan mereka memperjuangkan tanah adat dari praktik perusahaan tambang marmer. Perjuangan tersebut berpusat di Nausus, yang sekarang menjadi pusat kegiatan organisasi. Hasil dari perjuangan mereka adalah berhentinya praktik pertambangan marmer di wilayah tersebut. Batu dan hutan yang menjadi target lokasi tambang marmer masih tetap lestari hingga kini.

 

Usainya praktik pertambangan tidak berarti persoalan masyarakat dan Pokja OAT telah selesai. Kualitas hidup masyarakat masih jauh di bawah kondisi kondisi yang diharapkan. Berbagai persoalan ekonomi dan tingkat buta huruf sekitar 60% adalah salah satu persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Keterbatasan modal dan pengetahuan tentang model-model pengembangan ekonomi yang selaras alam sangat membatasi perkembangan kualitas hidup masyarakat. Singkat kata, untuk mencapai kualitas hidup yang tinggi, masyarakat masih perlu mendefinisikan ulang pola kehidupan tanpa perusahaan tambang yang mereka impikan.

 

Di dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat tersebut, Pokja OAT juga menghadapi berbagai tantangan. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah keluar masuknya staf. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya faktor ekonomi dan sosial. Selain itu, organisasi juga memiliki keterbatasan dana dan fasilitas untuk mendukung program-program pendampingan masyarakat yang mereka lakukan. Berbagai keterbatasan ini menyebabkan kualitas pendampingan berkurang dan berujung pada terhambatnya proses pengembangan masyarakat yang mereka cita-citakan.

 

Pada saat kami berkunjung ke sana, kami sempat mengikuti Festival Ningkam Haumeni, yang berlangsung sejak tanggal 20-22 November 2017. Festival Ningkam Haumeni diadakan setiap dua tahun sekali di bawah batu Nausus sejak tahun 2010. Festival ini sudah diadakan sebanyak lima kali sampai tahun 2017. Kata Ningkam Haumeni berarti Madu dan Cendana, kekayaan alam yang dimiliki masyarakat adat Tiga Batu Tungku. Festival ini mempertemukan warga masyarakat, termasuk kelompok dampingan Pokja OAT dari tiga wilayah Mollo, Amanatun, Amanuban. Festival ini merayakan semangat berkumpul dan sebagai ajang refleksi masyarakat Tiga Batu Tungku.

 

Awalnya dirayakan setiap tanggal 29 Mei, pada Hari Anti Tambang Dunia, sebagai peringatan atas kemenangan terhadap perusahaan tambang. Salah satu janji adat yang terus digaungkan dalam festival tersebut adalah “Kami tidak akan menjual apa yang tidak bisa kami buat.” Mereka mempercayai bahwa tanah atau lahan, sungai, hutan, gunung, air, dan laut tidak dapat dibuat oleh manusia, sehingga tidak boleh diperjualbelikan. Dalam janji tersebut segala bentuk eksploitasi dan ekonomi yang merusak adat dan alam ditentang. Kebutuhan hidup pun coba dipenuhi dan dikelola dengan cara pandang tersebut.

 

Dalam festival ini, para kelompok bertemu untuk membagikan pengalaman dan tantangan dalam mengorganisir kelompok tenun, pertanian, dan peternakan. Dengan ciri khas masing-masing wilayah Batu Tungku, setiap kelompok merayakannya melalui nyanyian, tarian, permainan dan pantun. Sejak 25 November 2017, diputuskan bersama oleh Pokja OAT dan para kelompok masyarakat bahwa Festival ini dinamakan menjadi “Ume Ekot To Halan”.  Sejak 2018 festival ini diadakan setiap tanggal 10 Oktober.

 

Beberapa Visi tentang Nausus 100 tahun ke depan.

Yulius Pay membayangkan Nausus 100 tahun ke depan pasti sudah banyak perubahan. Perubahan tersebut membawa dampak pada manusia dan alam. Ia membayangkan 100 tahun lagi, penduduk Nausus pasti sudah bertambah. Apabila dijaga, maka alam akan tetap seperti sekarang. Kalau tidak ada kader-kader, maka kampung (sejarah batu) ini akan mudah dialihkan. Pertambangan bisa mengganggu dan menyebabkan hilangnya hutan dari sejarah.”

 

jalan-jalan-3
Proses Menulis Visi Pribadi (Sumber: Dokumentasi KAIL)

 

Daris Fina membayangkan bahwa seratus tahun lagi mereka yang hadir dan berkumpul di situ sudah dimakan debu. Mungkin mereka hanya melihat dari alam lain. Fina berharap mudah-mudahan apa yang diletakkan oleh para aktivis tetap diwariskan kepada generasi berikutnya. “Sehingga apa yang Tuhan buat, apa yang Tuhan ciptakan, yang ada di depan mata, itu adalah sesuatu yang luar biasa. Begitu indahnya. Tapi kalau tidak dijaga keindahan ini, maka 10-20 tahun mendatang keindahan ini akan hilang begitu saja. Kalau kita tidak mewariskan kepada sesama kita, anak cucu kita, maka akan membawa dampak tidak baik di waktu yang akan datang.”

 

Dorkas Sette merasa tempat yang begitu indah ini perlu diperbaiki. “Jangan hanya dijadikan sebagai tempat rekreasi karena batu-batu ini sangat bermanfaat. Pertama, kalau untuk anak usia dini, dia akan lebih tertarik bila pembelajarannya di sini, di tempat-tempat seperti ini. Karena di sini kita tidak perlu pakai papan tulis karena sudah tersedia sangat bagus. Tinggal bagaimana kita mengubah tempat ini menjadi tempat yang menarik untuk anak usia dini bisa belajar di sini. Kedua, seperti kita ketahui bersama bahwa lopo dan ume bubu itu sangat penting. Jadi tidak salahnya kita bangun itu di sini. Kemudian setiap kali kita berkunjung kita bisa mampir dan santai di lopo yang sudah kita sediakan. Ketiga, kami ingin juga tanaman ini tetap seperti ini. Tetapi ditambah, dimodifikasi dengan tanaman lain selain Cemara. Tanaman yang bermanfaat.”

 

Veronika Mael merasa alam ini akan berubah dalam 100 tahun. “Tugas kita yang duduk di sini amat sangat berat. Kita memikul tanggung jawab dan beban di dua bahu kita untuk bagaimana kita menyampaikan, menyadarkan (orang-orang) dari pemuda sampai anak-anak untuk mencintai alam. Bagaimana mereka memiliki rasa (terhadap) alam ini. Kalau tidak ada kesadaran dari manusia yang tidak memiliki rasa (terhadap) alam ini, berarti 2-3 tahun yang akan datang, ini semua akan rata. Kita harus bisa menanam pohon-pohon kayu yang ada di sekitar, yang bisa mempertahankan tanah untuk air yang lewat. Juga tentang budaya. Macam orang Timor, batu ini melambangkan nama. Artinya nama kebesaran marga kami. Misalnya Anaf Tiga. Kalau tidak dipertahankan akan hilang sama sekali. Berarti budaya tidak ada, budaya kami hilang dan batu nama kami juga hilang.”

 

Lodyana Kaba menganggap bahwa organisasi adalah pelindung alam. “Bagaimana mempertahankan sumber daya alam yang ada. Kami mengajarkan kepada masyarakat, bahwa alam jangan dirusak. Kami juga sharing kepada pemuda-pemuda yang ada di desa-desa. Mimpi saya ke depan, semoga dengan cara-cara ini, pemuda dan anak cucu ke depan sadar bahwa alam ini sangat penting untuk kita. Tanpa alam kita tidak bisa makan, minum dan tidak bisa berbuat apa-apa. Impian saya ke depan, alam-alam ini harus segera diperbaiki. Seperti lagu Mama Aleta kemarin. Yang rusak harus kita perbaiki, yang hilang harus kita cari lagi, yang layu harus kita tanam dan siram lagi. Semoga anak cucu kita menyadari hal itu. Semoga dengan penyadaran masyarakat ke depan, kita ingin dikenang sebagai salah satu sejarah. Di mana orang-orang tua yang masih ada, harus mengajarkan kepada generasi muda bahwa semua yang diberikan itu adalah sejarah. Kita tidak boleh melupakan apa yang sudah ditetapkan. Kita tidak boleh mengubah apa yang sudah disimpan, tidak boleh memindahkan. Dan apa yang sudah dibuat, tidak boleh merusak. Seperti motto kita, bahwa: ‘kami tidak bisa menjual apa yang tidak bisa kami buat.’ Tetapi kami bisa menjual apa yang bisa kami buat. Yang tidak bisa kami buat seperti batu, tanah, dan air, sehingga tidak bisa kami jual. Karena itu adalah marga-marga kami. Yang bisa kami jual adalah hanya hasil bumi seperti pertanian, ubi, kacang, sayur-sayuran. Itu yang bisa kami buat dan itu yang bisa kami jual.”

 

jalan-jalan-4
Proses berbagi visi (Sumber: Dokumentasi KAIL)

 

Omri Bifel menyatakan, tiga batu tungku ini, harus menjaga alam supaya alamnya indah. Di Fatunausus, di kampung-kampung juga ada batu marga. Terlebih kalau kampung daerah Fatumnasi jurusan Kemutis. Ada batu marga banyak. Di situ ada tokoh-tokoh adat, yang menjaga batu, kayu dan air. Tuhan menciptakan kayu, batu dan air. “Kita manusia tidak menciptakan kayu atau batu. Kayu, manusia bisa tanam dan dia bisa tumbuh. Sedangkan batu, kita tidak bisa tanam.”

 

Penutup

Demikian potongan-potongan visi yang disampaikan oleh teman-teman Pokja OAT. Visi tersebut sangat penting untuk memberikan orientasi terhadap perubahan yang ingin mereka ciptakan. Saat tulisan ini ditulis, kami belum mendapatkan kabar tentang perkembangannya. Semoga visi-visi mereka satu per satu dapat mulai terwujud.

 

***

Any Sulistyowati

Any Sulistyowati

Any Sulistyowati adalah trainer dan fasilitator di Perkumpulan Kuncup Padang Ilalang. Peran utama yang sedang dijalani saat ini adalah: (1) memfasilitasi komunitas/ organisasi/ kelompok untuk membuat visi bersama dan perencanaan untuk membangun dunia yang lebih berkelanjutan, (2) menuliskan inisiatif-inisiatif untuk membangun dunia yang lebih berkelanjutan, (3) membangun pusat belajar (Rumah KAIL) untuk memfasilitasi proses berbagi dan belajar antar individu dan organisasi.

Related Posts

[Jalan-jalan] Mencari Celah Menyemai Manfaat di Tengah Diskursus Masalah Pangan Lokal

[Jalan-jalan] Mencari Celah Menyemai Manfaat di Tengah Diskursus Masalah Pangan Lokal

[Jalan-jalan] Merawat Ingatan Perjuangan Aktivis “Korban” Program Pemberdayaan ala Pemerintah

[Jalan-jalan] Merawat Ingatan Perjuangan Aktivis “Korban” Program Pemberdayaan ala Pemerintah

[Jalan-jalan] Jalan-jalan ke Kebon Hiris

[Jalan-jalan] Jalan-jalan ke Kebon Hiris

[Jalan-jalan] Menjelajahi Tierra Valiente – Kostarika

[Jalan-jalan] Menjelajahi Tierra Valiente – Kostarika

No Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

edisi

Terbaru

Rubrik

Recent Comments

STATISTIK

Online User: 0
Today’s Visitors: 19
Total Visitors: 59724

Visitors are unique visitors