[Pikir] Berani

[Pikir] Berani

pikir1-3
Steve Jobs (kompasiana.com)

Siapa yang tidak kenal Steve Jobs?! Dialah pendiri Apple Macintosh, pelopor modernisasi dalam industri komputer. Saya mengenal Steve Jobs dari film bertajuk namanya, sebagai pribadi yang berkarakter determinan. Ia fokus pada objektivitas, tegas memilah perasaan dan persepsi saat menganalisa, bulat keyakinan dalam memutuskan dan menyatakannya, serta mengambil kendali penuh untuk memimpin tim dalam mengeksekusinya. Ia tidak peduli dengan reaksi tidak suka dari lingkungan, terus maju berdasarkan kebenaran, namun tetap terbuka menerima umpan balik yang dijelaskan berdasarkan fakta tak terbantahkan. Aksi faktual secara tegas itu menciptakan transformasi di tingkat global.

Saya jadi teringat dengan kata pengantar E. Whalen, dalam buku Power vs Force – The Hidden Determinants of Human Behaviour dari David R. Hawkins. E. Whalen menyatakan tentang karakter determinan (ketegasan memutuskan “ya / tidak” dalam segala hal), yang menentukan level energi seseorang. Hal ini menjelaskan bagaimana determinasi Steve Jobs berhasil membawa pengaruh dalam skala internasional.

Sungguh menginspirasi, bukan? Apakah Anda juga termotivasi untuk mengembangkan determinasi dalam diri Anda? Mari kita selidiki tantangan apa saja yang akan langsung menyambut Anda!

Penolakan. Saat Anda dengan tegas menyatakan suatu keputusan dan mulai beraksi, bersiaplah menghadapi reaksi / respon kebalikan dari lingkungan. Inilah salah satu hukum alam, yang dinyatakan oleh Newton sebagai hukum aksi-reaksi (pelajaran Fisika kelas 7), di mana aksi pasti menimbulkan reaksi. Kebanyakan orang tidak sadar dengan kenyataan ini, sehingga tidak siap menerima sanggahan.

Frustasi. Tidak siap dibantah membuat orang mengalami frustasi. Materi Psikologi Umum (dari berbagai sumber) menjelaskan frustasi sebagai keadaan terhambat / terhalangi dalam proses menuju target harapan. Ada dua reaksi frustasi yang biasa terjadi, yaitu apatis / menarik diri dan agresi / menyerang. Misalnya, saat gagasan Anda ditolak, wa Anda tidak langsung direspon, atau permintaan Anda tidak diikuti, Anda lalu sedih dan mengurungkan diri (apatis), atau sebaliknya, Anda marah dan berjuang memaksakan kehendak (agresi).

Emosi negatif. Seperti efek bola salju – semakin menggelinding semakin besar, demikian juga ketidaksiapan orang menghadapi reaksi penolakan lingkungan, lalu melahirkan frustasi, dan berkembang menjadi emosi negatif. Materi Psikologi Umum (dari berbagai sumber) menjelaskan emosi negatif sebagai perasaan tidak nyaman yang sangat intens dan berdaya desak mendorong tindakan reaktif.

Ada tiga tindakan reaktif (3F) yang diperintahkan oleh bagian otak reptilian (Paul Maclane), yaitu flight (menghindar), fight (melawan), dan freeze (diam terpaku / membeku). Misalnya, Anda bolak balik mengalami sedih-apatis / marah-agresif karena ditolak, sehingga lama-lama Anda merasa semakin tidak tahan, Anda pun kemudian memutuskan hubungan (flight), bermusuhan memerangi lawan (fight), ataupun mengabaikan dan menganggapnya tidak ada (freeze).

Kesadaran. Berbagai upaya reaktif manusia untuk mengatasi emosi negatif hanya menghilangkan keluhan untuk sementara waktu, namun masalah serupa akan kembali berulang, karena akar permasalahannya masih ada. Apakah yang sesungguhnya menjadi sumber awal kesemerawutan hidup manusia? Bukankah sikap batinnya sendiri yang tidak sadar dan menolak realita? Dua puluh tahun hasil penelitian Hawkins (Hawkins, 2012) menyatakan bahwa pangkal penyebab dari semua akibat pengalaman hidup manusia adalah level kesadarannya.

Salah satu prinsip kesadaran menurut Kabat dan Zinn (1990) adalah menerima. Hal ini sejalan dengan pengalaman penulis sebagai psikolog selama hampir 18 tahun, yang menemukan bahwa sikap batin menerima merupakan kunci utama dari kesejahteraan mental seseorang. Menerima tidak bisa diupayakan dengan sengaja, misalnya melalui sugesti. Orang yang berusaha keras menerima sesungguhnya sedang menolak diri sendiri, yaitu tidak menerima keadaan dirinya yang sedang menolak.

Menurut Sudrijanta (2020), menerima akan terjadi secara alamiah saat seseorang menyadari dan menerima sikap penolakannya. Penolakannya berhenti. Mati. Penerimaannya pun tumbuh. Menurut Hawkins (2012), mengakui keadaan diri apa adanya (sesungguhnya saya sedang menolak dan tidak menginginkan kondisi diri saya yang sekarang) menunjukkan keberanian. Keberanian mengakui ini selanjutnya membuka pintu masuk seseorang untuk menerima hadiah masa kini / the present (sungguh-sungguh berhadapan dengan kenyataan / fakta sebagaimana adanya).

Berani berhadapan dengan sikap diri yang menolak diri sendiri pada awalnya memang menimbulkan rasa sangat tidak nyaman. Namun sikap tegar berhadapan, apalagi bila pada saat yang bersamaan kita juga membuat senyuman di wajah dalam menghadapi klimaks negativitas dari kenyataan, akan mempengaruhi kinerja neurotransmitter otak (ada kebingungan sesaat karena tersenyum pada waktu klimaks tidak nyaman, lalu muncul rambatan energi hangat di ubun-ubun, dan percikan cahaya sekejap) , sehingga negativitas berubah menjadi positivitas secara nyata, bukan sugesti / pemaksaan ego untuk mempertahankan kenyamanan (pengalaman latihan praktik W.A.R.A – Wiring Affect with Re-Attach).

Dalam peta kesadaran manusia (Hawkins, 2012), energi berani merupakan pintu masuk untuk melakukan tindakan konstruktif, tidak lagi seolah-olah solutif padahal destruktif, dan kesadaran pun tumbuh berkembang. Level kesadaran berikutnya adalah netralitas, di mana individu berhenti menghakimi, tidak lagi reaktif berpihak / memusuhi stimulus, melainkan hangat dan siap sedia menyambut kenyataan apapun sebagaimana adanya.

 

pikir3-3
Asertif (IMM A.R. Fachruddin)

Asertif. Sikap netral menciptakan cara pandang baru terhadap realita. Aksi-reaksi tidak lagi menjadi konflik mengganggu. Perbedaan perlu diungkapkan untuk saling menguji dan melengkapi. Dalam ilmu komunikasi (dari berbagai sumber), pernyataan terbuka dan terus terang secara setara merupakan perilaku asertif.Apakah perilaku asertif juga berakibat reaksi kebalikan? Misalnya, lawan bicara malah jadi menutup diri atau berlebihan dalam argumentasi?  Apakah ada kondisi tertentu di mana hukum aksi – reaksi Newton tidak berlaku?

Menurut Hawkins (2012), hukum aksi-reaksi berlaku pada force (kekuatan yang sifatnya berpindah-pindah, seperti gaya luncur bola salju), namun tidak berlaku pada power (kekuatan yang sifatnya stabil, seperti gaya gravitasi). Force menjadi sumber perilaku manusia yang level kesadarannya di bawah 200 (belum berani).  Sifatnya kompleks (melemah / menguatkan diri dengan cara reaktif; paksaan-keharusan) dan mahal (upaya tidak berdampak signifikan, malah sesungguhnya destruktif). Sementara power merupakan sumber perilaku manusia dengan level kesadaran 200 – 1000 (dimulai dari berani, netral, kemauan, menerima, memahami, cinta, suka-cita, damai, dan pencerahan). Sifatnya sederhana (stabil; alamiah) dan ekonomis (minim upaya dan berdampak signifikan – konstruktif).

Bila ditelusuri kembali paparan di atas, perilaku asertif didorong oleh sikap penghargaan setara, menerima perbedaan, atau kondisi batin netral.  Netralitas menunjukkan fungsi kesadaran manusia berada pada taraf 250 (Hawkins, 2012). Kondisi netral melahirkan penilaian objektif dan respon fleksibel. Perilakunya tidak menghakimi, menghargai kebebasan, tidak merasa perlu mengontrol orang lain, dan sebaliknya juga sulit dikontrol oleh orang lain. Orang netral tidak lagi tertarik pada konflik, kompetisi, ataupun rasa bersalah. Emosinya sejahtera dan percaya diri.

Dengan demikian, perilaku asertif yang “asli” (berbasis power) tidak akan memancing orang lain untuk bereaksi destruktif, melainkan mengundang respon konstruktif. Hawkins menjelaskan proses interaksi ini sebagai berikut: 15% populasi di dunia berada pada level kesadaran di atas 200, sementara 85% lainnya di bawah 200; Meskipun demikian kekuatan pikiran dan energi positivitasnya terukur dalam satuan log 10 berpangkat, sehingga perbedaannya sangat besar dan signifikan, melampaui daya imajinasi manusia; Positivitas 15 % populasi tersebut dapat menyeimbangi negativitas 85% sesamanya, sehingga mereka berpeluang lepas dari negativitas dan belum tentu bertindak menyalurkan dorongan destruktifnya. Dalam interaksi, positivitas masuk seperti nutrisi yang diinfuskan untuk memulihkan / menetralisir negativitas.

Bagaimana? Apakah Anda sungguh berminat melatih diri menjadi pribadi yang determinan? Bersediakah Anda mengalami penolakan, frustasi, emosi negatif, sadar (berani mengakui, menghadapi kenyataan diri, menyambut tantangan lingkungan), serta berlaku asertif? Jawaban spontan “YA” tanpa syarat menunjukkan nyala energi keberanian / courage (level kesadaran 200 – Hawkins, 2012); Anda pun siap “berpetualang” membangun kehidupan.***

 

Sumber Pustaka: Film “Steve Jobs” (Boyle, 2015); Buku “Power vs Force” (Hawkins, 2012); Program “Transformasi Penderitaan menjadi Keindahan Hidup” (Sudrijanta, 2020); Materi “Psikologi Umum” (berbagai sumber), “Intervensi Berbasis Kesadaran” (Kabat & Zinn, 1990), “3F” (Paul Maclane, googling); latihan & pengalaman praktik penulis dalam ruang konseling.

Levianti

Levianti

Levianti, S.Psi, M.Si, Psikolog menjalani keseharian sebagai Dosen Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul. Penerapan keilmuan dilakukan melalui profesi associate assessor di Daya Dimensi Indonesia, associate trainer di Konsultan Intered, serta anggota tim konselor di Pusat Layanan Psikologi UEU dan Biro Konseling Keuskupan Bandung. Minatnya untuk berefleksi dan menulis tersalurkan melalui penyusunan renungan harian bagi Lumen Cahaya Indonesia - youtube Hidup TV. Ia juga menulis lepas di blog Proaktif Online dan Kompasiana. Bersama suaminya, ia pun merintis wirausaha Kopi Bale 62 sejak tahun 2016. Bidang Ilmu Psikologi merupakan panggilan hidupnya yang terus ia tekuni secara sederhana melalui aktivitas hidup harian.

Related Posts

[Pikir] Merefleksikan Keterpisahan Hubungan Manusia Perkotaan dengan Pangan dalam Perspektif Kritis

[Pikir] Mendiagnosa Kebebasan Diri di Era Post-Modern

[Pikir] Mendiagnosa Kebebasan Diri di Era Post-Modern

[Pikir] Kepemimpinan Kaum Muda Dalam Era Globalisasi

[Pikir] Kepemimpinan Kaum Muda Dalam Era Globalisasi

[Pikir] Berkembang Bersama Komunitas

[Pikir] Berkembang Bersama Komunitas

No Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

edisi

Terbaru

Rubrik

Recent Comments

STATISTIK

Online User: 0
Today’s Visitors: 16
Total Visitors: 59915

Visitors are unique visitors