[Masalah Kita] Pendisiplinan dalam Pendidikan: Studi Kasus pada SMP Negeri 2 Malaka Barat!

[Masalah Kita] Pendisiplinan dalam Pendidikan: Studi Kasus pada SMP Negeri 2 Malaka Barat!

Dalam tulisan singkat ini, saya mencoba membagikan sebuah pengalaman romantisme dalam dunia pendidikan ketika saya masih belajar bersama teman-teman saya di sekolah menengah pertama hingga menengah atas. Dua sekolah saya, baik itu sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, berada di komplek yang sama. Sekolah saya terletak di Dusun Klisuk Lor, Desa Alkani, Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Nama sekolah itu adalah Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Malaka Barat dan Sekolah Menengah Atas Swasta Kamelin. Kedua sekolah ini memang berada di desa yang jauh dari hiruk pikuk kota alias terpencil. Fasilitas kedua sekolah ini pun boleh dibilang tidak sepenuhnya dapat menunjang proses belajar dan mengajar. Bahkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) pun belum dapat diakses. Namun,  ada satu hal yang membuat saya bangga yaitu kedisiplinannya yang tinggi. Sejujurnya saya merindukan suasana yang kondusif yang diorganisir sedemikian rupa yang mampu mendisiplinkan. Sekolah ini menerapkan jam belajar minimal 10 jam. Mungkin sebagian orang akan mengatakan bahwa belajar yang melebihi 8 jam adalah membosankan, menjenuhkan, bahkan melanggar hak asasi para siswa. Sekilas kita akan menyetujui dengan pernyataan ini. Dalam tulisan ini saya mencoba untuk memberikan sebuah landscape pendidikan yang memiliki sebuah cerita di baliknya.

masalah-kita-2
Keterangan Foto: Kiri: Para siswa sedang bermain bola. Kanan: Para siswa sedang nonton lomba tarik tambang. Doc. Albertus Klau Seran

Saya mencoba memberikan secara runtut jadwal belajar secara sederhana. Pada pukul 06.00-06.30, kami akan mengikuti misa (ibadat dalam keyakinan umat Katolik). Kemudian, kami akan sarapan sampai pukul 07.00. Setelah sarapan kami mulai berbaris untuk mendengarkan informasi dari para guru dan dilanjutkan dengan proses belajar di kelas sampai istirahat pertama pada pukul 10.00. Waktu untuk istirahat kurang lebih sekitar 30 menit. Proses belajar akan dilanjutkan sampai pukul 12.00, kemudian dilanjutkan dengan istirahat kedua yang dilakukan sekitar 15 menit. Setelah itu kami akan melanjutkan proses belajar sampai pelajaran terakhir yang akan selesai pada pukul 13.15. Kami diwajibkan untuk pulang ke rumah masing-masing. Pada pukul 15.00 kami harus sudah kembali ke sekolah untuk belajar sore. Belajar sore akan diakhiri dengan lonceng sekolah pada pukul 16.15. Selama belajar sore, semua siswa melakukan review akan materi yang sudah diajarkan sepanjang hari tersebut. Siswa yang hendak melakukan diskusi dengan teman angkatan, adik kelas, dan kakak kelas dipersilakan dengan catatan pada pukul 18.00 sudah kembali ke sekolah untuk melanjutkan belajar malam. Pada kesempatan belajar malam, para siswa membaca materi yang akan dipelajari pada esok hari. Belajar akan dilanjutkan pada pukul 20.30 hingga 22.00. Jam belajar ini hanya diperuntukan bagi siswa kelas IX dan XII. Mereka diperkenankan untuk berdiskusi mengenai tugas-tugas sekolah.

Jadwal belajar yang begitu padat tentu akan menimbulkan berbagai macam reaksi. Saya masih ingat, suatu ketika saya menceritakan fenomena ini kepada salah satu dosen saya.  Reaksi dia ketika mendengar cerita saya ialah kagum sekaligus miris. Tapi kemudian saya bercerita lebih lanjut tentang fenomena sosial di luar sekolah. Beberapa fenomena sosial di luar sekolah yang memiliki dampak yang cukup signifikan pada dunia sekolah saya, yakni 1) orientasi pada uang, 2) kurangnya hiburan di rumah, 3) menghindari pergaulan bebas, 4) memutuskan tekanan pekerjaan di rumah. Empat hal ini kemudian memicu para guru, orang tua, dan tokoh-tokoh agama untuk memikirkan strategi guna mengembangkan pendidikan yang lebih responsif terhadap situasi sosial siswa pada saat itu.

Saya mencoba menjabarkan keempat hal tersebut sebagai berikut:

  1. Orientasi pada uang/money oriented

Gambaran umum tentang situasi ekonomi masyarakat saat itu adalah kurang mampu. Secara finansial mereka kurang mampu. Orientasi para siswa pada situasi tersebut adalah  bekerja untuk mendapatkan harta. Mereka tidak ingin berlama-lama di bangku pendidikan. Sebab bagi mereka, belajar hanya akan menguras keuangan keluarga dan membuang waktu. Dalam logika berpikir mereka, sebaiknya waktu untuk belajar digunakan untuk mencari uang, jauh lebih bermanfaat (common sense). Common Sense dalam konteks Antonio Gramsci dapat diartikan sebagai hal-hal lumrah yang terjadi dalam masyarakat dan dapat diterima begitu saja tanpa dikritisi.ini terus mempengaruhi orang tua murid pada saat itu. Menurut rumusan mereka, belajar = wasting time. Pada masa ini begitu banyak siswa/siswi yang putus sekolah. Mereka lebih memilih untuk merantau, mengumpulkan uang lalu menggunakannya untuk membeli sepeda motor yang beken. Harapannya dengan sepeda motor yang beken, mereka mampu memikat perhatian lawan jenis.

  1. Kurangnya hiburan di rumah

Sekitar tahun 2000-an keterbatasan transportasi dan infrastruktur menjadi sebuah penghambat bagi masyarakat untuk mengakses informasi dan dunia hiburan. Artinya tidak ada hiburan dalam keluarga. Pada masa itu, memiliki motor, televisi, dan genset adalah sebuah pencapaian yang luar biasa. Tidak ada hiburan dalam keluarga. Salah satu hiburan yang paling ditunggu-tunggu ialah ulang tahun gereja dan ulang tahun negara (HUT RI). Situasi sulit memacu para guru untuk memikirkan bagaimana cara untuk memberikan tempat hiburan yang layak bagi mereka terlepas dari apa pun latar belakang mereka. Strategi yang dilakukan oleh sekolah pada waktu itu adalah mengadakan acara nonton bersama setiap malam Minggu. Acara nonton bersama akan dimulai pada pukul 19.00 hingga pukul 24.00. Alternatif lain bagi siswa yang tidak menyukai tontonan pada televisi dapat memilih untuk datang ke sekolah hanya sekedar untuk bermain gitar, bercanda gurau, dan bercerita tentang hal-hal mistis. Ada alasan untuk tidak memiliki media hiburan bagi sebagian orang tua murid. Beberapa alasan diantaranya, yakni faktor ekonomi, infrastruktur yang tidak merata, kecemburuan sosial, dan maling. Cara ini cukup efektif dalam mengurangi angka putus sekolah pada saat itu, sebab mereka memiliki keterikatan dengan sekolah, khususnya dalam pertemanan mereka. Dalam sebuah sharing di sekolah, masing-masing dari kami bercerita bahwa ketika kami tidak masuk sekolah atau tidak mengikuti kegiatan di sekolah kami merasa terasing. Sebab di rumah, kami tidak bisa berbuat banyak hal selain tidur atau membaca buku.

  1. Pergaulan bebas

Masa remaja sebagai masa pencarian identitas seringkali ditempuh dengan beberapa cara, seperti melakukan kekerasan, mengkonsumsi minum keras, dan merokok. Hal ini juga dialami oleh para siswa/siswi pada saat itu. Para siswa pada zaman itu seringkali berpesta pora, hingga melakukan kekerasan, baik tanpa senjata tajam maupun dengan senjata tajam. Saya mengakui bahwa selama saya bersekolah, saya dan teman-teman tidak pernah mendapatkan pendidikan yang berhubungan pembinaan masa pubertas, masa remaja, dan seterusnya. Minimnya pengetahuan kami akan hal ini membuat kami tidak tahu mana yang benar mana yang salah. Implikasinya seringkali kami melakukan apa yang benar menurut kami. Yang mana tidak sedikit dari yang kami anggap benar itu ternyata banyak yang keliru. Satu hal lagi yang menurut saya memiliki pengaruh yang cukup signifikan yaitu konsep maskulinitas yang keliru dan berlebihan (toxic masculinity). Menurut hemat saya, toxic masculinity yang terjadi pada waktu itu karena sikap mengagung-agungkan budaya patriarki yang begitu tinggi. Sejauh pengamatan saya pada generasi saya, toxic masculinity dianggap sebagai sesuatu yang lazim, misalnya hasutan untuk mengikuti perguruan pencak silat. Mereka seringkali menguji jurus atau ilmu mereka dengan berkelahi. Bagi mereka yang menang dalam perkelahian tersebut menganggap diri perguruan pencak silat merekalah yang paling baik. Pemicunya bisa berbagai macam hal, misalnya saling menjelek-jelekkan perguruan bela diri lain. Perkelahian ini menyebabkan mereka seringkali dikejar oleh pihak keamanan alias menjadi buron. Untuk mengamankan diri, pada akhirnya mereka putus sekolah dan mereka melarikan diri ke perantauan di beberapa pulau, misalnya ke Kalimantan, Papua, bahkan ke Malaysia. Mereka mengikuti perguruan pencak silat bukan pertama-tama untuk kebugaran jasmani, sebuah seni, dan membela diri melainkan sebagai sebuah pembuktian diri dalam upaya untuk mendominasi.

  1. Tekanan pekerjaan di rumah

Salah satu respon orang tua atas situasi ekonomi yang sulit adalah memaksakan anaknya untuk mencari uang daripada harus sekolah. Anak-anak dihadapkan pada suatu situasi yang sulit. Masa depan mereka dihadapkan pada realita yang pesimistik, yakni sekolah tetapi tetap miskin. Argumentasi sebagian besar orang tua pada saat itu ialah “sekolah tidak menghasilkan uang, hanya akan merugikan saja”. Miris dan menyayat hati ketika membayangkan situasi ini. Situasi inilah yang memaksakan teman-teman saya untuk membantu orang tua mereka mencari uang, entah itu dengan bekerja di ladang orang lain, merantau ke pulau lain atau bahkan secara ilegal mereka merantau ke luar negeri. Pilihan ini dianggap paling baik dari semua pilihan yang ada. Mereka harus bekerja demi membantu membangun perekonomian keluarga. Di saat yang sama, mereka dipaksa untuk memainkan peran ayah sekaligus juga ibu, misalnya harus mencari dan menebang pohon sagu menggunakan kapak atau mencangkul tanah ketika musim kemarau tiba. Maka alternatif dari para guru ialah membuat jadwal belajar yang begitu padat, sehingga mereka tetap dapat membantu orang tua tetapi di luar jam belajar atau di hari-hari libur.

 

Refleksi kritis atas fenomena ini.

Para guru sungguh mengenali konteks permasalahan secara holistik/menyeluruh berdasarkan pengamatan mereka. Mereka tidak hanya menjadi intelektual tradisional, melainkan menjadi intelektual organik. Istilah intelektual tradisional dan tradisional merupakan konsep yang digunakan oleh Antonio Gramsci. Gramsci adalah seorang neo-Marxis. Menurut Gramsci, intelektual tradisional adalah mereka yang bertugas dan berfungsi sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam mengarahkan masyarakat untuk menyepakati ide-ide yang diinginkan oleh penguasa. Kaum intelektual tradisional memanfaatkan pengetahuannya untuk mempengaruhi pihak yang lemah untuk mendukung kelas penguasa. Mereka yang disebut sebagai intelektual tradisional adalah ialah para guru, dosen, dan beberapa pejabat yang menduduki jabatan dalam pemerintahan. Konsep berikut yang ditawarkan oleh Gramsci ialah tentang intelektual organik. Mereka yang disebut sebagai intelektual organik adalah mereka yang memiliki kepedulian terhadap suatu permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat yang ditindaklanjuti dalam sebuah aksi atau gerakan. Kaum intelektual organik menggunakan ilmu pengetahuan untuk mengubah hegemoni yang terjadi di dalam masyarakat. Empat persoalan pokok di atas adalah hegemoni yang terjadi di dalam kehidupan sosial masyarakat pada waktu itu.

Hal lain yang menjadi catatan penting dalam persoalan di atas adalah bagaimana para guru menghidupi konsep humanisme dalam dunia pendidikan. Sadar atau tidak, para guru sedang menerapkan humanisme dalam lingkungan sekolah. Walaupun humanisme dianggap sebagai sebuah “barang mati” di abad ini namun untuk mengantisipasi masalah di atas mungkin perlu konsep ini, secara khusus tentang cura personalis. Oleh karena para guru memiliki cura personalis yang baik terhadap situasi masyarakat dan secara khusus mengenai para murid di sekolah, mereka mengambil tindakan pendisiplinan yang ketat sebagai counter fenomena tersebut. Jika tidak, maka jumlah angka putus sekolah akan semakin meningkat dan generasi tersebut kehilangan masa depan yang baik. Mungkin orang akan mengkritisi fenomena itu, tapi saya mengajak kita semua untuk menempatkan diri dalam fenomena tersebut. Ajakan saya sederhana, mari berpikir dengan perspektif yang lebih holistik. Memang persoalan ini sangat kompleks untuk dicermati. Namun, cara yang dilakukan oleh para guru pada saat itu ialah untuk mendobrak kemapanan common sense. Salah satu contoh sederhana dari common sense adalah anggapan dalam masyarakat bahwa anaknya harus menjadi tulang punggung dalam keluarga. Maka, mereka harus dilatih sejak dini untuk mencari nafkah. Kemudian mereka merasa nyaman dan memilih untuk bekerja dibandingkan harus sekolah. Situasi ini dianggap sangat lumrah di kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh pemikiran masyarakat yang belum kritis. Untuk menghegemoni pemikiran masyarakat sehingga menjadi good sense, diperlukan sebuah pendidikan kritis yang lebih responsif seperti yang ditawarkan oleh Antonio Gramsci. Para guru telah mengaplikasikan hegemoni baru yang jauh lebih responsif atas situasi siswa di kampung halaman.

Posisi saya dalam tulisan ini ialah mencoba menganalisis mengapa masa itu menjadi sebuah masa yang cukup ‘gelap” tetap menjadi masa keemasan bagi saya dan teman-teman saya yang sedang berjuang. Saya dan teman-teman saya seolah-olah dipaksa untuk tunduk tetapi di satu sisi kami menikmati proses tersebut. Sehingga kami akan mengatakan bahwa kami tidak merasa diatur, melainkan sedang dibentuk. Tentu ini dapat dikritisi oleh berbagai macam elemen masyarakat. Bahwa cara yang ditempuh tidak memberikan kebebasan kepada setiap siswa untuk “bermain”. Namun, kenyataannya hari ini tidak demikian. Sistem pendidikan kita memang tidak didesain untuk pendidikan yang lebih humanis, melainkan sangat industrialis, yakni kepatuhan khas antara tuan dan budak. Orientasinya hanya pada penciptaan tenaga kerja yang profesional sesuai dengan kebutuhan industri. Miris, tetapi itulah kenyataan pendidikan kita hari-hari ini.

Beberapa catatan lain dari saya ketika melihat upaya yang dilakukan oleh guru atas situasi tersebut: kewenangan guru yang tidak dapat diintervensi, penyalahgunaan kekerasan dalam sekolah dengan alibi untuk mendisiplinkan para siswa. Siswa seringkali mengalami kekerasan dari guru. Alasan para ialah pendisiplinan. Pendisiplinan ini membuat para siswa menjadi lebih patuh. Budaya patuh merupakan salah satu warisan kolonial di tanah air. Kepatuhan adalah salah satu warisan turun-temurun dari Belanda. Di mana Belanda dapat dengan mudah memerintah kaum pribumi untuk bekerja (rodi). Kepatuhan terjadi karena adanya ketimpangan dalam relasi kuasa. Relasi kuasa antara guru dan murid mengalami ketimpangan, di mana guru memiliki kuasa yang jauh lebih besar dari murid. Relasi ini tentu saja tidak dapat dihindari. Kepatuhan hanya merupakan sebagian dari upaya untuk mendisiplinkan orang lain (tubuh) dengan berbagai punishment.

Dalam tulisan ini saya mencoba memperkenalkan seorang filsuf berkebangsaan Perancis yang bernama Michel Foucault. Ia begitu terkenal karena karya-karyanya yang menggambarkan bagaimana kekuasaan dihasilkan dan dijalankan dalam masyarakat. Dalam karya terkenalnya “Surveiller et Punir” (Disiplin dan Hukuman), Foucault memeriksa bagaimana kekuasaan diwujudkan melalui disiplin dan pengawasan dalam masyarakat modern. Menurut Foucault, disiplin adalah cara masyarakat modern mengontrol perilaku individu/kelompok. Disiplin bukan hanya diterapkan dalam institusi-institusi seperti penjara atau militer, tetapi juga dalam bentuk-bentuk lain seperti sekolah, rumah sakit, dan tempat kerja. Disiplin berfungsi untuk mengatur perilaku dan memastikan kepatuhan individu terhadap norma dan aturan yang telah ditetapkan oleh masyarakat. Foucault berpendapat bahwa disiplin dan pengawasan tidak hanya berfungsi untuk mengatur perilaku individu, tetapi juga untuk mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Dalam masyarakat modern, kekuasaan tidak hanya dipegang oleh individu tertentu seperti penguasa atau raja, tetapi tersebar di seluruh masyarakat. Kekuasaan diproduksi dan dijalankan melalui hubungan-hubungan sosial dan praktek-praktek seperti disiplin dan pengawasan.

Dengan demikian, disiplin dan pengawasan bukan hanya tentang mengontrol perilaku individu, tetapi juga tentang mempertahankan dan memperkuat kekuasaan dalam masyarakat. Foucault menekankan pentingnya memahami bagaimana kekuasaan dihasilkan dan dijalankan dalam masyarakat modern, karena hanya dengan memahami ini kita dapat memahami dan mengubah hubungan-hubungan sosial yang tidak adil dan tidak merata.

 

 

Eventus Ombri Kaho

Eventus Ombri Kaho

Saya Eventus Ombri Kaho. Saya berasal dari Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur. Sekarang saya sedang menempuh pendidikan magister Kajian Budaya di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Alamat e-mail: matelosban@gmail.com

Related Posts

[Masalah Kita] Kisah Kasih Kota dan Desa  (K3D)

[Masalah Kita] Kisah Kasih Kota dan Desa (K3D)

[Masalah Kita] Post-Truth: Dilema Baru dalam Kebebasan Berdemokrasi

[Masalah Kita] Post-Truth: Dilema Baru dalam Kebebasan Berdemokrasi

[Masalah Kita] Kaum Muda Saat Ini

[Masalah Kita]  Sekolah dan Kehidupan

[Masalah Kita] Sekolah dan Kehidupan

No Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

edisi

Terbaru

Rubrik

Recent Comments

STATISTIK

Online User: 0
Today’s Visitors: 65
Total Visitors: 59964

Visitors are unique visitors