[Masalah Kita] Pandemonium

[Masalah Kita] Pandemonium

Di mana-mana, kita bisa melihat dan membaca, para petinggi dan ahli selalu menyampaikan bahwa saat ini kita berada di era disrupsi, era kemajuan teknologi, industri versi khiwari, 4.0 katanya. Lalu, masih dengan semangat berapi-api, mereka melanjutkan bahwa kita harus bersiap-siap, mawas dan sadar diri karena di era ini segalanya dapat terjadi hanya dalam hitungan detik belaka dan mampu mempengaruhi berbagai dimensi.

Dalam kondisi tersebut, di jagad maya manusia dengan segala dimensi dan nilainya tampak harus terus mengkreasi dan merekreasi hakikatnya. Manusia saat ini di sini, sebagai dassein, terperangkap di dalam kebingungan menyikapi variasi nilai dan informasi yang jauhnya barangkali hanya satu scroll tweet atau Instagram feed belaka. Dunia kini dicemplungkan ke dalam sistem tunggal dan terhubung melalui jaring-jaring besar internet dan berbagai teknologi komunikasi. Kita menjadi satu, menjadi sistemik dalam hidup dan mati. Ini juga menjadi pandangan Edward Norton Lorenz ketika ia menyampaikan bahwa kepakan sayap kupu-kupu di Brazil dapat menyebabkan badai di Texas.

Di dalam satu kesatuan tersebut, kita perlu berbagi segala sumberdaya yang kita perlukan untuk bertahan hidup: air, makanan, udara, ruang. Manusia, sebagai makhluk yang wawasannya terus berkembang dan tidak pernah puas dengan satu jawaban perlu terus mempertahankan eksistensi untuk pada suatu ketika, berhasil membangun esensinya. Sesuatu yang nampaknya terus perlu dipertahankan di tengah berbagai kejadian yang menimpa bumi manusia.

Ketika tulisan ini dibuat, jumlah individu manusia telah melewati 8 miliar jiwa. 8 miliar jiwa tersebut baru saja dan masih menyaksikan rentetan kejadian yang barangkali menjadi tantangan dan pertanyaan baru terhadap kehidupan manusia: pandemi COVID-19. Pandemi ini bukan hanya urusan kesehatan belaka. Ia juga mengganggu sistem kehidupan manusia modern yang dibangun di atas agenda-agenda pembangunan. Ia menggelitik sistem sosial-ekonomi-politik manusia modern yang dibangun di atas pilar-pilar interaksi budaya dan sirkulasi modal dan komoditas. Barangkali yang akan diingat dari generasi ini dan generasi seterusnya adalah buah kemajuan pembangunan berupa kebebasan yang selalu kita harap-harapkan ternyata juga mengandung keterbatasan.

pandemonium-pexels-anna-shvets-4167544
Sumber gambar: https://www.pexels.com/photo/hands-with-latex-gloves-holding-a-globe-with-a-face-mask-4167544/

Kita bisa melihat bagaimana virus corona memaksa kita untuk masuk ke dalam rumah dan tinggal di sana sampai batas waktu yang tidak bisa kita tentukan semau kita. Kesatuan manusia yang digadang-gadang sebagai agenda pembangunan dan diharapkan membawa kesejahteraan ternyata berbalik arah dan memukul kita secara telak. Arus manusia, modal, dan komoditas justru menambah parah efek pandemi. Penularan tidak terkendali dan di tengah ketidakseimbangan sumberdaya dan ketidakadilan yang terjadi, manusia di berbagai belahan dunia menerima dampak yang tidak sama. Di satu daerah, dampak pandemi memukul kesehatan sebegitu beratnya.

Guayaquil, sebagai contoh, salah satu episentrum virus corona di Ekuador dan di Amerika Selatan menyaksikan bagaimana horror pandemi begitu nyata. Pada puncaknya, banyak jenazah dan korban yang bergelimpangan di jalan-jalan. Hal sama juga bisa kita saksikan di India di mana, ketika varian delta melanda, pembakaran jenazah penuh antrian dan banyak jenazah yang dikuburkan di pinggir-pinggir sungai. Sistem kesehatan tidak mampu mengelola dampak yang terjadi dan tak pelak, sistem ekonomi dan interaksi sosial juga terhantam dengan telak.

Barang tentu manusia, sebagai dassollen, terus berusaha untuk memperbaiki kenyataan untuk mencapai tujuan akhirnya. Mereka terus mengamati, belajar, dan beradaptasi. Kehadiran pandemi di satu sisi menghajar sistem-sistem penghidupan namun di sisi lain ia juga mentransformasi kehidupan dan segala sistemnya dan mengupas berbagai macam hal yang tertutupi oleh kenyataan sebelumnya. Setidaknya terdapat beberapa transformasi yang dapat dipetik dari kehidupan manusia dari pandemi yang mereka hadapi.

Transformasi pertama, dan ini yang menjadi favorit para elit teknokrat adalah transformasi digital. Manusia mencoba untuk mempertahankan sistem kehidupan yang bertumpu pada interaksi, birokrasi, dan efisiensi melalui transformasi digital. Pandemi mengakselerasi, jika bukan memaksa dunia digital berkembang dan menjadi urat nadi kehidupan baru. Fenomena work from home atau study from home menjadi buktinya. Transformasi digital ini tampaknya disukai karena sejalan dengan kepentingan-kepentingan industri informasi atau industri 4.0 yang disebutkan di awal. Di dalam transformasi digital dan dunia internet yang menjadi jagadnya, efisiensi kehidupan dan berbagai komponen mampu dibentuk dan dirakit ulang dengan lebih cepat, mudah, dan yang paling penting, murah. Tidak perlu ada rekayasa dunia fisik yang mahal dan menghabiskan banyak sumber daya.

Di sisi lain, intervensi pemerintah melalui internet dan teknologi informasi menghasilkan keturunan smart dimensions meliputi pemerintahan, pasar, hingga ekosistem berbasis digital. Transformasi digital agaknya terkait dengan transformasi ekonomi-politik. Otoritas, pemerintah nampak semakin gandrung dengan istilah-istilah digitalisasi. Sistem politik jadul nan antik kemudian mencoba mendominasi dan menaklukan internet melalui etika dan adat-istiadat. Tenaga manusia, kian terdesak dan tergantikan oleh teknologi komunikasi, komputasi, dan otomatisasi. Seluruhnya dihadirkan sebagai manifestasi pembangunan normal baru yang dibangun di atas pilar-pilar rasionalisasi, birokrasi, dan efisiensi.

Tentu saja transformasi digital tidak hadir begitu saja tanpa adanya konsekuensi. Transformasi digital dan pandemi secara keseluruhan menunjukan bagaimana system kehidupan dan pembangunan yang menjadi trajektorinya lahir dari ketimpangan-ketimpangan dan ditujukan untuk menghasilkan ketimpangan-ketimpangan baru sehingga bisa diatasi dengan ketimpangan-ketimpangan lain. Pandemi ini disebarkan oleh manusia-manusia yang memiliki kapasitas untuk bepergian jauh dalam waktu singkat atau secara singkat orang-orang berduit yang memiliki mobilitas antar negara tinggi: wisatawan dan pelaku bisnis transnasional. Solusinya, transformasi digital, pun ditujukan bagi kelas pekerja kerah putih yang membutuhkan teknologi di dalam arena-arena pembangunan kelas menengah hingga tinggi.

Sementara di bawah, berserakan manusia-manusia yang banting tulang setengah mati karena pekerjaan mereka tidak dapat secara instan digantikan melalui teknologi digital. Pelaku-pelaku pariwisata, penjual dagangan eceran, dan pekerja-pekerja kerah biru lain perlu berjibaku untuk mempertahankan penghidupannya. Barangkali transformasi yang mereka alami tidak lah transformasi digital melainkan transformasi nilai dan transformasi makna penghidupan itu sendiri.

Terlepas dari transformasi digital yang dihadirkan, transformasi nilai dan makna penghidupan juga perlu menjadi perhatian. Kita menyaksikan bagaimana kehidupan dan kematian akibat pandemi hadir bukan sebagai entitas yang kompleks, mistis, dan intim melainkan tidak lebih dari berita, foto, dan angka-angka. Kematian diringkus dan dikemas di dalam digit-digit dingin statistik yang ditampilkan dalam tabel dan grafik. Perubahan makna kematian secara langsung juga berpengaruh terhadap makna kehidupan yang kita jalani dirasakan atau tidak. Perangkap transformasi digital dan kematian yang disebabkan pandemi dapat membuat kita semakin terperosok ke dalam kekeringan modernitas yang unidimensi.

Refleksi individu dan komunitas terhadap apa yang terjadi termasuk di dalamnya penghayatan dan penciptaan nilai-nilai terhadap fenomena pandemi dan berbagai elemen yang dibawanya perlu tetap dilakukan. Hal tersebut penting untuk memastikan pandemi membawa transformasi kita kepada ketangguhan dan solidaritas yang penting sebagai modal sosial-budaya kita dalam menghadapi tantangan kompleksitas yang ke depannya akan semakin mengganas. Di sisi lain, refleksi terhadap pandemi juga perlu dilakukan untuk memikirkan bagaimana berbagai ketimpangan yang hadir di dunia ini adalah nyata dan perlu ditangani segera.

 

 

 

 

 

 

 

 

Hilary Reinhart

Hilary Reinhart

Hilary Reinhart menamatkan pendidikan sarjananya pada Program Studi Teknik Nuklir, Jurusan Teknik Fisika tahun 2015. Setelahnya, ia langsung melanjutkan pendidikan master pada peminatan studi Magister Pengelolaan Lingkungan, Program Studi Ilmu Lingkungan, Sekolah Pascasarjana UGM dan lulus pada tahun 2017. Saat ini, Hilary Reinhart menjadi staff akademik di Departemen Geografi Pembangunan, Fakultas Geografi UGM. Minatnya yang tinggi pada aspek lingkungan dan pembangunan, mendorongnya untuk aktif pada berbagai kegiatan riset, kajian dan penyusunan rencana pengembangan, serta konferensi ilmiah di berbagai kesempatan. Topik kajian dan risetnya meliputi kajian pembangunan berkelanjutan, geowisata, dan perencanaan lingkungan dan pengembangan wilayah khususnya di wilayah rural dan kawasan karst.

Related Posts

[Masalah Kita] Kisah Kasih Kota dan Desa  (K3D)

[Masalah Kita] Kisah Kasih Kota dan Desa (K3D)

[Masalah Kita] Post-Truth: Dilema Baru dalam Kebebasan Berdemokrasi

[Masalah Kita] Post-Truth: Dilema Baru dalam Kebebasan Berdemokrasi

[Masalah Kita] Kaum Muda Saat Ini

[Masalah Kita]  Sekolah dan Kehidupan

[Masalah Kita] Sekolah dan Kehidupan

No Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

edisi

Terbaru

Rubrik

Recent Comments

STATISTIK

Online User: 0
Today’s Visitors: 11
Total Visitors: 59716

Visitors are unique visitors