[Masalah Kita] Karena Covid-19, Kita (Mau) Berubah?

[Masalah Kita] Karena Covid-19, Kita (Mau) Berubah?

masalah-01
(Sumber : https://news.detik.com/berita/d-5789904/ri-masuk-deret-negara-level-1-covid-satgas-ungkap-target-nasional)

Maman sudah bersiap, kemeja yang rapi dengan dasi dan celana serta sepatu pantofel telah melekat ke badannya. Rambutnya telah disisir klimis dengan kumis tipis menghias wajahnya. Saat hendak beranjak keluar kamar kosannya, dia sadar ada aksesori yang ketinggalan, yakni masker wajah. Walau pandemi telah melandai, Maman merasa tetap harus mengenakan masker. Padahal sebelum tahun 2020, Maman tak pernah mengenakan masker, bahkan ketika sedang mengalami flu atau lagi kurang fit. Ketika sampai di kantornya yang berada di dalam gedung perkantoran, Maman melakukan scan check-in di aplikasi Peduli Lindungi, namun biasanya dia sering lupa untuk check-out ketika pulang. Pulang kosan, dia langsung mandi dan pakaian kerjanya langsung dicuci karena memang sudah kotor, tidak memungkinkan lagi dipakai esok harinya.

 

Hai. Sudah dua tahun ini kita hidup dengan Covid-19, bagaimana kabar kamu? Mari kita bersyukur atas kesehatan yang kita miliki hari ini dan ke depannya. Saya ingin mengajak para pembaca untuk memeriksa beberapa hal yang telah menjadi penanda era Covid-19, terutama di Indonesia.

Apakah kamu seperti Maman? Atau mengalami sebagian dari yang dilakukan oleh Maman di atas?

Maman hanya sosok fiktif yang saya ciptakan, tidak dimaksudkan untuk merujuk kepada siapa pun ya.

Pengalaman Maman itu sedikit banyak telah saya alami dan lakukan, mungkin mewakili banyak orang-orang yang hidup di era Covid-19 ini. Berbagai cerita, mulai dari yang duka cita sampai inspirasi untuk tetap berbahagia, tetap tersedia bagi kita yang hidup.

Di sini, saya ingin berbagi pemikiran atas perubahan yang saya amati terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat melalui krisis akibat pandemi Covid-19. Saya berangkat dari tiga hal yang rasanya cukup khas sebagai sesuatu yang muncul di era tersebut.

Pertama, MASKER. Apakah ada di antara pembaca yang tidak pernah menggunakan masker dalam dua tahun terakhir ini? Saya rasa hampir semuanya pernah pakai. Walaupun masker bukanlah barang baru, tapi kita di Indonesia tidak terbiasa untuk memakainya dalam kehidupan sehari-hari. Teringat dulu, sebelum Covid-19 melanda, bukanlah pemandangan yang umum melihat atau menemukan seseorang memakai masker di ruang publik. Namun, hari ini kita sudah terbiasa bila mendapati ada orang yang memakai masker di ruang publik. Saya sendiri hari-hari ini masih terbiasa untuk memakai masker bila hendak bepergian ke luar rumah, walaupun sebenarnya lebih suka tidak bermasker karena merasa sedikit kesulitan untuk bernafas dan cepat ngos-ngosan saat berbicara.

Kedua, aplikasi PEDULI-LINDUNGI. Aplikasi yang rilis pada Maret 2020 lalu ini merupakan salah satu solusi dari pemerintah dalam melakukan pengendalian di masyarakat, yakni dengan melacak kontak masyarakat terutama mereka yang terpapar Covid-19 sehingga dapat memberikan kewaspadaan pada lingkungan sekitarnya. Saya rasa siapapun yang memiliki smartphone pasti menyimpan aplikasi ini. Yang saya ingin soroti adalah perilaku scan QR untuk check-in dan check-out ketika memasuki ruang publik, seperti mall atau perkantoran. Ada masa ketika setiap ruang publik diharuskan menyediakan QR code yang terafiliasi dengan PEDULI-LINDUNGI agar masyarakat dapat melakukan rutinitas check-in dan check-out tersebut. Namun belakangan, hal ini sudah tidak lagi dilakukan walaupun QR code masih tetap terpampang di setiap ruang publik. Aplikasi PEDULI-LINDUNGI sekarang ini lebih banyak difungsikan sebagai penyimpanan atau untuk verifikasi sertifikat vaksin / booster di pelabuhan dan bandara.

Ketiga, rapid test-antigen-PCR. Di awal-awal pandemi, sangat sulit bagi masyarakat untuk melakukan rapid test-antigen-PCR. Kesulitan itu terutama karena fasilitas laboratorium di Indonesia yang ternyata memang tidak sanggup berhadapan dengan krisis seperti ini. Hal ini kemudian berdampak pada biaya tes itu sendiri yang dirasa cukup mahal. Selain itu ada persoalan tersendiri karena tidak ada transparansi yang memberikan kejelasan terhadap dasar penetapan biaya tes tersebut. Namun karena kebutuhan untuk memastikan diagnosa atas gejala-gejala yang muncul, maka kondisi ini memaksa masyarakat untuk melakukan tes PCR. Kebutuhan tersebut semakin meningkat, ketika hasil tes PCR dijadikan sebagai syarat untuk berbagai keperluan, seperti : kembali bekerja di kantor, melakukan perjalanan dengan pesawat terbang, dst. Kemudian muncul layanan tes dengan model drive through sehingga tes laboratorium semakin memasyarakat. Namun, seiring dengan semakin terkendalinya pandemi, jumlah orang dan frekuensi akses terhadap layanan tersebut pun semakin menurun.

Ketiga hal di atas, memiliki tantangannya ketika hendak dimasyarakatkan. Persoalan umumnya karena kesadaran masyarakat Indonesia terhadap kesehatan yang tergolong rendah, sehingga ketika ada himbauan bahkan kebijakan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, hal tersebut menjadi tantangan. Insert: ceritakan tantangannya persisnya apa?

Tantangan terbesar yang harus dihadapi oleh pemerintah, salah satunya adalah penolakan masyarakat terhadap isu Covid-19 itu sendiri. Misinformasi yang diperparah oleh banyaknya hoaks dari kanal-kanal komunikasi pribadi seperti Whatsapp dan Telegram, memang menyulitkan pemerintah dalam membendung berita-berita yang tidak kredibel. Penolakan tersebut kemudian berdampak pada tidak patuhnya masyarakat terhadap berbagai himbauan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Misalnya saja, ketika diberlakukan kebijakan yang mewajibkan siapa saja yang beraktivitas di ruang publik untuk mengenakan masker. Berita berikut hanyalah salah satu contoh penolakan tentang masker, dimana pelakunya ternyata tidak percaya adanya Covid-19.

https://regional.kompas.com/read/2021/07/07/114015278/polisi-tangkap-pria-yang-menolak-pakai-masker-dan-tak-percaya-covid-19?page=all

Sementara berita berikut ini :

https://mediaindonesia.com/nusantara/335612/tak-pakai-masker-pns-dihukum-menyapu-halaman-kantor

Menunjukkan bagaimana pemerintah sebagai teladan bagi masyarakat, justru menjadi pihak yang malah mempersulit memasyarakatnya kebijakan pemerintah tersebut.

Sedangkan menurut pendapat Najmah Usman (dikutip dari https://www.bbc.com/indonesia/majalah-58035319), pakar epidemiologi Universitas Sriwijaya, ada faktor penyangkalan yang terbentuk dari akumulasi berbagai faktor di antaranya ekonomi, relijius, dan terutama ketidakjelasan penanganan Covid-19 oleh pemerintah. Faktor misinformasi dan hoaks yang menyebar hanyalah variabel penambah.

Jika himbauan untuk melakukan protokol kesehatan sudah disertai dengan hukuman (ancaman) barulah masyarakat tergerak untuk melakukannya. Berita-berita tentang ketidakdisiplinan masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan sebenarnya adalah satu hal yang menjadi warna dalam era Covid-19 ini. Betapa masyarakat membandel ketika diatur untuk urusan kesehatan yang berpotensi pada kematian.

Jika kita melihat hasil Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2018[1] yang diterbitkan oleh Badan Litbangkes Kemenkes RI, rasanya asumsi tersebut benar adanya. Data Riskesdas 2018, secara umum, menunjukkan tingkat kesadaran masyarakat yang rendah terhadap kesehatan. Beberapa indikator yang diperlihatkan misalnya :

  • Persentase masyarakat yang kurang menjalani aktivitas fisik meningkat dari 26,1% pada tahun 2013 menjadi 33,5% pada tahun 2018
  • Persentase penduduk berusia lima tahun ke atas yang kurang makan buah dan sayur meningkat dari 93,5% pada tahun 2013 menjadi 95,5% pada tahun 2018
  • Persentase obesitas penduduk berusia 18 tahun ke atas meningkat dari 14,8% pada tahun 2013 menjadi 21,8% pada tahun 2018

Untuk rincian indikator lainnya, dapat mengunjungi langsung link berikut https://www.litbang.kemkes.go.id/laporan-riset-kesehatan-dasar-riskesdas/.

Perlu diperhatikan bahwa data Riskesdas di atas merupakan potret kondisi masyarakat pada periode 2014-2018. Dari riwayat publikasi, diketahui Riskesdas dilakukan pada tahun 2007, 2010, 2013. Belum diketahui kapan Riskesdas berikutnya akan dilakukan. Dengan demikian, belum ada data terbaru yang dapat memberikan perbandingan atas pengaruh Covid-19 terhadap tingkat kesadaran masyarakat atas kesehatan.

Namun setidaknya, kita dapat melihat data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) pada tahun 2021 untuk mendapatkan gambaran tersebut.

Data Susenas 2021 (https://www.kompas.id/baca/telaah/2022/04/01/kesadaran-mencegah-gangguan-kesehatan-meningkat-selama-pandemi), memperlihatkan indikasi adanya peningkatan kesadaran masyarakat atas kesehatan yang dilihat dari sudut pandang pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran untuk kesehatan pada tahun 2021 berada di angka 5,35% meningkat dari tahun sebelumnya di angka 5,07% dan utamanya terjadi pada masyarakat perkotaan. Untuk masyarakat perdesaan, justru memperlihatkan tren sebaliknya, yakni cenderung menurun.

Pengeluaran kesehatan ini mencakup biaya pengobatan, baik yang bersifat kuratif, preventif, maupun biaya obat.

Sementara kita dapat menduga bahwa Covid-19 membantu menyadarkan masyarakat untuk melakukan upaya preventif, terlihat dari data Susenas bahwa pengeluaran per kapita sebulan untuk biaya pelayanan pencegahan / preventif meningkat selama periode 2019-2021, yakni dari 15,18% pada tahun 2019 menjadi 22,82% pada tahun 2021.

Tentu beberapa angka-angka itu menjadi indikator yang cukup baik bagi kita semua, bahwa semakin banyak orang yang sadar atau lebih peka untuk menjaga kesehatan. Namun di sisi lain, kita mencermati bahwa kondisi ini tidak merata karena masyarakat perkotaan mungkin lebih bisa mengakses layanan kesehatan sedangkan masyarakat perdesaan tidak. Ataukah kualitas kesehatan masyarakat di perdesaan lebih baik dari masyarakat di perkotaan?

Covid-19 adalah fenomena global yang pasti akan tercatat dalam sejarah peradaban manusia, sebuah titik penting yang telah mengubah begitu banyak dimensi kehidupan kita. Salah satunya adalah perspektif terhadap kebiasaan hidup sehat. Situasi krisis cenderung membuat banyak pemerintah mengambil kebijakan yang disertai dengan sanksi / hukuman untuk memaksa masyarakatnya. Seperti yang kita lihat di negeri ini.

Menggunakan masker, vaksin, PCR, aplikasi PEDULI-LINDUNGI adalah wujud keterpaksaan yang dilakukan oleh sebagian dari kita ketika krisis terjadi. Dari keterpaksaan perlahan menjadi kebiasaan karena telah berlangsung untuk hampir 2 tahun lamanya.

Di hari-hari ini, ketika situasi yang semakin melonggar, apakah kita akan melepaskan kebiasaan tersebut? Atau tetap membiasakan diri?

Krisis covid-19, memang seharusnya membuat semakin banyak orang sadar akan betapa pentingnya kesehatan. Namun mungkin belum sejalan dengan upaya yang dilakukan seiring dengan tumbuhnya kesadaran tersebut. Krisis ini pastinya terdapat pelajaran bagi kita semua dan generasi yang akan datang, tidak lagi sekedar pemakaian masker ketika kurang sehat, tapi kesiapan kita untuk menghadapi krisis berikutnya.

Saya akan menutup tulisan ini dengan mengutip presentasi dari Bill Gates pada tahun 2014 saat ia berbicara di forum TED :

“Jika sesuatu yang bisa membunuh 10 juta orang dalam beberapa dekade ke depan, yang paling memungkinkan adalah sebuah virus yang berbahaya ketimbang sebuah perang. Bukan misil, namun mikroba. Sekarang, alasannya adalah kita telah berinvestasi banyak untuk pencegahan nuklir. Namun ternyata kita sedikit berinvestasi dalam sistem pengendali epidemi. … Jika kita memulai sekarang, kita akan siap untuk epidemi berikutnya.[2]

 

[1] https://www.litbang.kemkes.go.id/laporan-riset-kesehatan-dasar-riskesdas/

[2] Diambil dari transkrip terjemahan resmi : https://www.ted.com/talks/bill_gates_the_next_outbreak_we_re_not_ready/transcript?language=id

David Ardes Setiady

David Ardes Setiady

David Ardes Setiady adalah alumni Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran. Ia memiliki impian agar setiap manusia dapat hidup seturut panggilan sejatinya. Ia pernah belajar tentang hipnoterapi yang seutuhnya dipergunakan membantu orang-orang yang membutuhkan. Bergabung di KAIL sebagai staf pada tahun 2012-2014 sebagai penanggung jawab dokumentasi dan menjadi trainer berbagai kegiatan Pengembangan Diri KAIL. Setelah itu, ia pindah ke Medan dan secara rutin menjadi relawan kontributor Proaktif Online. Saat ini ia menjabat sebagai Pengawas KAIL.

Related Posts

[Masalah Kita] Kisah Kasih Kota dan Desa  (K3D)

[Masalah Kita] Kisah Kasih Kota dan Desa (K3D)

[Masalah Kita] Post-Truth: Dilema Baru dalam Kebebasan Berdemokrasi

[Masalah Kita] Post-Truth: Dilema Baru dalam Kebebasan Berdemokrasi

[Masalah Kita] Kaum Muda Saat Ini

[Masalah Kita]  Sekolah dan Kehidupan

[Masalah Kita] Sekolah dan Kehidupan

No Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

edisi

Terbaru

Rubrik

Recent Comments

STATISTIK

Online User: 0
Today’s Visitors: 18
Total Visitors: 59723

Visitors are unique visitors