[Media] Pendidikan Remaja, Cerita Seorang Guru Menemukan Titik Balik dalam Hidup

[Media] Pendidikan Remaja, Cerita Seorang Guru Menemukan Titik Balik dalam Hidup

Pengalaman 3 tahun mengajar anak remaja menjadi momen terbaik dalam hidup saya, yang membuat saya paham tentang dinamika mereka dan mengapa banyak orang dewasa cenderung “menghindari” remaja.

Setelah lulus kuliah di bidang pendidikan, saya tidak langsung masuk dalam kehidupan sekolah. Alasannya karena pendapatan yang belum memadai. Akhirnya saya kerja kantoran, tapi tidak jauh dari pendidikan. Saya bekerja sebagai editor media pembelajaran, baik untuk sekolah maupun di rumah. Selama masa itu, teman-teman lain yang bekerja sebagai guru sering sharing tentang dunia pendidikan. Tapi ada satu sharing yang selalu saya ingat. “Lebih baik mengajar anak SD atau SMA sekalian dari pada SMP,” ucap teman saya. Saya bertanya “Kenapa?”  “Karena secara fisik dia sudah besar dan sering membangkang, tapi secara logika belum seperti anak SMA,” jawabnya. Saya waktu itu mengerut dahi, bingung maksudnya bagaimana. Karena tidak tahu medan, saya mengangguk saja. Ketika suatu hari saya akhirnya mendapat kesempatan menjadi guru, saya mengajar di sekolah pada jenjang SMP. Akhirnya saya memahami kenapa teman saya berkata demikian.

Secara umum anak-anak pada jenjang ini berada di rentang usia 12-15 tahun, atau tepat sebelum mereka beranjak dewasa. Tentunya mereka dalam masa persiapan. Ibaratnya kita mau membuat sebuah event besar, ketika masa persiapan banyak sekali hal yang kita lakukan dan biasanya saat ini muncul bibit salah paham, komunikasi yang masih simpang siur, dan pekerjaan yang terkesan tidak ada akhir. Tetapi ketika event itu mulai terselenggara walau situasi lebih sibuk namun suasana event membantu kita untuk tetap fokus. Kurang lebih seperti itulah keadaan para remaja SMP. Masa tersebut adalah persiapan event, dan SMA adalah mulai eventnya. Jika kita melihat mereka bingung, seperti banyak main, pindah-pindah hobi, mencoba ini itu, dan kadang emosinya tidak stabil (selain karena hormon), bisa jadi secara default mereka sedang mempersiapkan event besar dalam hidupnya.

Kembali lagi ke cerita awal, saat saya masuk ke sekolah SMP sebagai pengajar Tentu tantangan pertama, adalah komunikasi. Tidak seperti anak SD yang bisa diambil hatinya dengan beragam kegiatan seru, atau anak SMA yang lebih bisa ditegur. Anak SMP, cenderung tidak mendengarkan jika topiknya dianggap tidak mereka sukai. Apalagi dengan kelas yang tanpa kursi dan berada di ruang terbuka, membuat fokus menjadi lebih menantang lagi. Sudah berbagai cara pembelajaran dilakukan, mulai dari ceramah, penggunaan games,  presentasi powerpoint menarik, maupun metode kerja kelompok tidak membuat perubahan cukup signifikan dalam meningkatkan fokus mereka dalam pelajaran. Alhasil, setiap hari saya selalu lelah karena harus mengecek satu persatu siswa untuk tetap “on the track” dalam pelajaran.

Di samping itu, semakin lama berinteraksi dengan mereka, semakin saya  melihat pola kesukaan mereka. Siswa kelas ini memiliki keadilan yang tinggi dan kritis. Karena itu, saya mencoba mengadakan kegiatan MUN (Model United Nations) di mana mereka bisa berdiskusi dan bebas mengemukakan kekritisan mereka dengan mode dan pengaturan kelas ala-ala MUN. Mereka menjadi perwakilan negara-negara, kemudian ada sekjen PBB dan bahkan sampai membeli palu sidang. Hasilnya cukup baik, terlihat dari diskusi yang hidup dan pengembangan portofolio mereka setelahnya, yang jadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Karena memang sekolah tempat saya mengajar berbasis proyek, maka portofolio menjadi kewajiban untuk penilaian UTS dan UAS.

Dari hasil itu, saya kembali belajar tentang para siswa, yaitu mereka senang ketika mereka dipercaya untuk mengambil suatu peran. Di portofolio berikutnya saya membuat presentasi sebuah proyek pembuatan sebuah panggung, di mana mereka sendiri yang berperan dari mulai hulu ke hilir, dan guru hanya sebagai pendamping saja. Di akhir presentasi itu, saya bernegosiasi dengan mereka untuk membuat proyek ini. Tanpa disangka semua siswa setuju untuk melakukannya. Maka dimulailah proyek lumayan ambisius ini.

Awalnya memang tidak ada ekspektasi lebih tentang acara ini karena kerjasama mereka yang belum terbentuk, tapi semangat bahwa ini bisa jadi pelajaran untuk mereka, membuat para guru maju saja dengan proyek ini. Siapa sangka dalam persiapannya para siswa benar-benar bersungguh-sungguh dalam menjalankan peran mereka. Dari mulai membuat backdrop panggung, mendesain baju, menata musik, para penampil juga giat untuk berlatih, membuat puisi dan menata panggung, mereka selalu giat dan tanpa disuruh untuk saling berkoordinasi dan berkomunikasi lintas peran, sehingga masalah yang terjadi dapat diselesaikan secara bersama-sama. Bahkan, ketika membuat backdrop, hampir seluruh santri putra maupun putri ikut berkontribusi hingga malam hari.

Saya berkomitmen untuk selalu memberikan update harian apa yang bisa dibantu guru kepada mereka. Ketua siswa juga berinisiatif memberikan update harian seputar apa yang dikerjakan oleh siswa lain selama sehari-hari. Misal, setiap pagi saat saya masuk ke kelas saya akan melaporkan update, begitupun para santri. Atau ketika ada kendala konflik antara bendahara dan seksi acara, pada hari itu ketua mengajak saya diskusi tentang hal yang harus dilakukannya untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan adanya komunikasi terbuka antara semua pihak, persiapan acara ini menjadi lebih mudah dan masalah yang timbul pun selesai dengan cepat.

Ketika terjadi masalah, ketua mendiskusikan penyelesaian dengan guru. Ketika ia menemukan solusi, ia langsung membagikannya kepada siswa yang lain. Selain ketua, semua anggota lain pun melakukan tugasnya masing-masing dengan kecepatan dan kemampuan sendiri. Peran-peran tersebut antara lain adalah mencari sponsor, membuat panggung, ticketing, design baju, mencari musik, dan latihan pertunjukan. Semua mereka lakukan dengan sekuat tenaga.

Panggung ini bernama Hara, Musikalisasi untuk Bumi. Persembahan dari remaja untuk pengingat bahwa ada bumi yang harus dijaga. Ide ini awalnya tercetus dari saya saat melihat konser “Equilibrium” lalu, saat para santri melihat konser tersebut, mereka juga sangat terkesima dan ingin membuat versi mereka. Apalagi mereka juga sangat ‘konsen’ dengan isu kebumian dan tema portofolio kali ini pun sama, tentang Bumiku.

Acara dimulai dengan pembukaan oleh MC, kemudian penampilan-penampilan perorangan: ada yang membaca puisi, stand up comedy, dan bernyanyi. Lalu acara intinya di malam hari, adalah penampilan musik dan fashion show dari para santri dengan menggunakan lagu “Hara” dari konser “Equilibrium” yang sudah diaransemen ulang oleh Abah Iqin. “Hara” merupakan lagu sepanjang 15 menit yang menceritakan tentang 5 unsur (tanah, air, api, besi dan angin) yang ada di Bumi dan Bumi itu yang menaunginya. 6 siswa yang mewakili 5 unsur dan 1 Bumi maju ke atas panggung sambil memperagakan sifat unsurnya dalam bentuk manusia. Pertunjukan ini terbilang cukup sukses para penonton merasa terhibur dan para santri juga sangat bangga telah menyelesaikan seluruh rangkaian acara dengan baik. Di akhir penampilan, seluruh siswa berdiri di atas panggung dan menyanyikan lagu “Earth”, karya “Lil Dicky”, bersama-sama.

media-1-2
Persiapan dan Penampilan Para Santri Sumber: Tim Dokumentasi HARA

Saat harinya, kami mengundang guru, orangtua, sponsor, dan juga penonton umum dengan sistem tiket. Ketika proyek panggung itu selesai, seluruh penonton mencintainya dan kagum dengan pertunjukannya. Banyak apresiasi kepada para santri dan seluruh tim. Hal ini berdampak positif dengan kepercayaan diri santri yang meningkat.

media-2-2
Seluruh Panitia dan Guru berfoto bersama di akhir pertunjukkan panggung Sumber: Koleksi Pribadi

Setelah selesai, kami mengadakan selebrasi sederhana dengan jalan-jalan ke Ngamplang, lapangan golf besar di Garut, untuk menikmati pemandangan dan saling memberikan afirmasi positif. Juga angket diri tentang perasaan dan makna yang diambil dari proyek panggung tersebut. Hampir semua siswa merasa bangga dan terharu karena bisa membuat proyek sebesar itu. Makna paling banyak yang mereka dapatkan adalah kekompakan, empati, dan komunikasi. Mereka belajar bahwa dengan kompak mereka bisa membuat acara besar. Semua siswa senang karena kesuksesan acara mereka.

media-3-2
Para Siswa berkunjung ke Ngamplang Sumber: Dokumentasi Pribadi

Selain itu, untuk para guru sendiri merasa sangat bahagia dengan perkembangan para santri. Karena ini acara panggung pertama yang full dilakukan oleh santri dan guru hanya sebagai observer dan pemberi saran, maka bisa dibilang apa yang menjadi tujuan dari pembelajaran kali ini tercapai semua, dimana santri bisa berkolaborasi dan berani menunjukkan bakat. Dan bisa dibilang, walau menjadi tujuan pembelajaran, hasil yang ditunjukkan santri pada proyek kali ini di luar ekspektasi guru. Dan acara ini menjadi inspirasi untuk adik-adik kelas melakukan acara serupa dengan tema “Indonesiaku”.

Sepertinya suatu hari nanti, saat saya kembali bertemu teman yang mengomentari jenjang SMP pada bagian awal artikel ini, saya bisa dengan bangga mengatakan bahwa anak SMP tidaklah seperti apa yang ia ungkapkan. Mereka hanya perlu ruang untuk eksplorasi diri. Jika mereka diberi ruang tersebut, maka kita akan menemukan manusia dewasa dengan semangat dengan penuh tenaga untuk melakukan sesuatu yang tidak terbayangkan.

Satu materi utama yang saya terapkan dalam proses proyek kali ini adalah The Four Freedom of Play yang dipelopori oleh Scot Osterweil, seorang game designer sekaligus Peneliti di MIT, yaitu freedom to experiment, freedom to fail, freedom to try on identity, dan freedom to effort. Proyek panggung Hara memang bukan permainan umum, namun permainan itu  cocok untuk kelas saya.  Dengan menemukan permainan yang cocok dan dipadukan dengan The Four Freedom of Play“-nya Scot, maka akan menghasilkan pembelajaran yang bermakna untuk para siswa.

Satu lagi cerita dari proyek panggung Hara. Ketika ada satu siswa sebelum panggung bertanya, “Ambu (Sebutan guru perempuan di sekolah), bagaimana kalau saya salah?” Saya menjawab, “Gapapa, salah. Masih ada panggung berikutnya.”  (Freedom to Fail). Lalu, saya mengatakan kepada semua talent saat sebelum panggung, “Gapapa salah, penonton ga tau, yang penting ga bingung. Keluarkan ekspresi yang kalian mau!” (Freedom to experiment). Semua itu membangun kepercayaan diri mereka, terutama kepercayaan terhadap diri mereka sendiri.

Sekian cerita sederhana dari saya. Walau sederhana, saya banyak belajar dari pengalaman ini. Dari yang sederhana inilah, titik balik tujuan saya dalam hidup berubah yaitu untuk membantu memberdayakan sebanyak-banyaknya remaja yang saya temui. Saya memilih hal ini karena mereka memiliki harta karun semangat dan tenaga penuh yang masih terkubur. Semangat dan tenaga ini perlu digali. Remaja bukan masa kebingungan, tapi masa untuk semangat dan tenaga yang penuh untuk eksplorasi diri. Usul: Dan sebagai orang dewasa, kita bisa membantu mereka untuk mendapatkan ruang-ruang eksplorasi diri tersebut.

 

 

Liesna N. Widyaningrum

Liesna N. Widyaningrum

Liesna Nurul, seorang pejuang pendidikan keluarga yang percaya, masyarakat yang kuat lahir dari rumah yang hangat dan interaksi keluarga yang sehat. Saat ini, membuka praktik Filial Play dan Play Date Boardgame untuk keluarga di Bandung.

Related Posts

[Media] Menerawang Masa Depan Pertanian dari Struktur Ekonomi Politik Pangan dan Eksplorasi Ruang Kolaborasi

[Media] Menerawang Masa Depan Pertanian dari Struktur Ekonomi Politik Pangan dan Eksplorasi Ruang Kolaborasi

[Media] Menghasilkan dan Mengolah Pangan Sendiri

[Media] Menghasilkan dan Mengolah Pangan Sendiri

[Media] Menelusuri Jejaring Keterhubungan: Sebuah Refleksi dari Workshop ‘Work that Reconnects’

[Media] Menelusuri Jejaring Keterhubungan: Sebuah Refleksi dari Workshop ‘Work that Reconnects’

[Media] Berkebun Gembira: Belajar dari Alam  

[Media] Berkebun Gembira: Belajar dari Alam  

No Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

edisi

Terbaru

Rubrik

Recent Comments

STATISTIK

Online User: 0
Today’s Visitors: 38
Total Visitors: 59937

Visitors are unique visitors