![[Opini] Pandemi, Bencana Global atau Peringatan Lanjutan?](https://proaktif.kail.or.id/wp-content/uploads/2023/02/opini4-8585207-800x600.jpg)
[Opini] Pandemi, Bencana Global atau Peringatan Lanjutan?
Penyebaran Covid 19 yang meluas dengan cepat, memaksa seluruh dunia untuk mengubah kebiasaan hingga gaya hidup yang telah lama berjalan. Ketersendatan ekonomi yang terasa hingga sekarang, menyadarkan sebagian orang tentang makna bencana global. Masalah lingkungan berupa perubahan iklim (Diam & Dengarkan (Dokumenter Panjang, 2020) – YouTube), kembali mencuat dalam berbagai pembicaraan penyebab pandemi. Jejak karbon dan sampah sintetis yang sukar terurai sebagai akumulasi polutan industri, dikaji ulang kembali sebagai penyebab perubahan iklim sekaligus keterpurukan ekonomi lokal hingga global dewasa ini, (Pulihkan Pandemi, Hentikan Perubahan Iklim (kemenkeu.go.id).
Keadaan ini sudah tentu bukan situasi ringan yang akan berlalu begitu saja, langkah konkret dari mulai diri, keluarga, lingkungan lokal hingga global harus segera dilakukan guna mengubah keadaan. Perubahan pola pikir, kebiasaan hingga gaya hidup kita merupakan langkah awal proses transformasi kehidupan. Aksi lokal berdampak global merupakan slogan terbaru untuk diterapkan dalam keseharian kita, tidak ada lagi ruang individualis (hanya mementingkan diri sendiri-egois) yang merusak lingkungan sekitar kita (baik lingkungan alam maupun sosial), melainkan kecil di ranah lokal menyumbang keberlanjutan peradaban ramah lingkungan global.

Kebutuhan pangan merupakan masalah inti pertama yang perlu kita benahi guna keberlanjutan alam semesta. Setiap manusia di manapun mereka berada membutuhkan makanan untuk keberlangsungan hidupnya, sudah tentu ini beriringan dengan udara dan air bersih. Masing-masing kita perlu mempertanyakan kembali asal muasal pangan serta berapa banyak yang dibutuhkan oleh tubuh. Jangan sampai kebiasaan dan gaya hidup makan kita malah merusak diri, keluarga hingga melanggengkan perubahan iklim yang semakin kritis, ketika kita bernafas, minum serta makan seharusnya menjadi kebaikan (ramah lingkungan) bagi seluruh alam semesta.
Berbicara mengenai asal muasal pangan, sudah tentu berkaitan erat dengan cara mendapatkannya. Apakah makanan kita berasal dari pertanian dan peternakan yang ramah lingkungan? atau hasil produksi industri yang mengakibatkan serta melanggengkan perubahan iklim? Belum lagi pekerjaan kita dalam mencari nafkah, Apakah melanggengkan sistem ekonomi industri yang merusak? atau mendukung perubahan menuju sistem ekonomi ramah lingkungan? Hal tersebut harus menjadi pertanyaan awal perubahan pola pikir kita, selanjutnya sudah tentu proses perubahan kebiasaan hingga gaya hidup secara bertahap (KISAH MANUSIA MERANGKAI PUNAH | Film Dokumenter – YouTube).

Selain revolusi hijau yang berdampak terhadap perubahan iklim hingga saat ini, ada program orde baru berguna lain untuk dilanjutkan sekarang, sekitar tahun 1971 istilah warung dan apotek hidup dikenalkan pemerintah guna penghijauan halaman setiap rumah penduduk Indonesia, jenis tanamannya meliputi berbagai macam bahan bumbu dapur, sayuran yang mudah ditanam untuk pangan sehari-hari, rimpang-rimpangan, dan sebagainya. Demi kebaikan bersama, mungkin program ini perlu dilakukan kembali oleh seluruh penduduk Indonesia.
Indikator sederhana dalam proses perubahan bertahap menuju ramah lingkungan dapat dilihat dari jumlah serta cara pengelolaan sampah kita. Berbelanja sesuai dengan kebutuhan sudah pasti minim sampah, apalagi dibarengi dengan bercocok tanam alami berbagai kebutuhan pangan harian kita. Sedikit demi sedikit kita mengurangi ketergantungan terhadap sistem ekonomi industri, menjadi mandiri, hingga akhirnya berdaulat pangan ramah lingkungan. Jika setiap individu dan keluarga di ranah lokal mulai mengaplikasikan hal tersebut, sudah tentu perubahan iklim dan resesi ekonomi akan pulih secara berangsur-angsur.
Transformasi kehidupan selamanya akan selalu berkaitan dengan kontemplasi diri, selalu mempertanyakan kembali tugas dan tujuan hidup kita merupakan bagian terpenting dari keseharian yang dijalani. Selaku manusia kita akan selalu diiringi oleh lupa dan kesalahan, seperti kata pepatah, tak ada manusia yang sempurna, karena itu pula kita perlu terus belajar, jangan melakukan kesalahan yang sama merupakan salah satu pelajaran penting dalam kehidupan ini.
Walaupun kesimpulan beberapa hasil penelitian perubahan iklim menyatakan sukar untuk mengembalikan keadaan bumi yang ramah lingkungan untuk dihuni (Living in the Time of Dying – Watch Full Documentary – YouTube), namun usaha perbaikan kecil kita secara bertahap harus tetap dilakukan secara konsisten. Jangan terjebak oleh banyak perdebatan, karena di zaman tsunami informasi ini, jika tanpa aksi, kita akan tenggelam dalam buaian waktu yang terasa berlalu semakin cepat. Mengimbangi percepatan kerusakan dengan percepatan perbaikan harus menjadi patokan utama keseharian kita.
Jika kita kilas balik, mengapa di puncak kebudayaan kebendaan ini terjadi bencana global, maka kita harus kembali ke masa lampau yang disebut sebagai abad pencerahan (Abad Pencerahan – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas), revolusi industri (Revolusi Industri – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas) hingga materialisme (Materialisme – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas) dan positivisme (Positivisme – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas). Secara bertahap pola berpikir, kebiasaan dan gaya hidup seluruh penduduk bumi digeser pada konsumerisme (Konsumerisme – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas). Walaupun istilah perubahan iklim sudah dikenal sejak lama (Sejarah temuan ilmiah perubahan iklim – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas), namun kekhawatiran para ilmuwan baru diinformasikan menjelang akhir 1950-an (Kapan Ilmuwan Pertama Kali Memperingatkan Tentang Perubahan Iklim? – Trenasia.com).
Jadi, apakah kita akan menyerah terhadap keadaan ini? (Riset baru tunjukkan perubahan iklim berdampak semakin parah bagi kesehatan (theconversation.com) atau berkontribusi positif semampu kita secara bertahap dan konsisten? Semuanya harus dikembalikan kepada misi dan visi hidup masing-masing diri kita. Jika kita masih memiliki moral serta rasa tanggung jawab terhadap keberlanjutan bumi bagi generasi berikutnya, sudah tentu kita akan memandang bencana global saat ini sebagai peringatan lanjutan guna bertransformasi diri menuju kehidupan yang lebih ramah lingkungan. Demikian sekelumit celoteh penulis dalam proses perjuangan transformasi kehidupan ([Pikir] Kebun, TUHAN dan Aku – Pro:aktif (kail.or.id)), kembali pada pepatah tak ada manusia yang sempurna, mohon maaf atas segala salah dan kekurangan penulis. Selamat berjuang!

Luat biasa. Terasa benar kecintaan mas Rio pada alam. Semoga menukar dengan cepat ke banyak pihak. Secepat virus influenza bergerak ke manamana.
Aamiin yaa robbal alamiin, terima kasih