[Opini] Belajar Berstrategi Pangan dari Petani Gunungkidul

[Opini] Belajar Berstrategi Pangan dari Petani Gunungkidul

Mbok Wartijem – Menjamin Ketercukupan Pangan

“Seumpama memasak, nanti bisa diganti bahan lain, misalnya, membuat thiwul ataupun nasi jali-jali, supaya cukup hingga panen yang akan datang, terus penjualan (pangan pokok) dikurangi, nanti yang dijual lombok, atau benguk, atau sayuran. Kalau gabah tidak dijual, disimpan untuk persediaan. Makanan (pokok) juga gak hanya gabah (beras), nanti bisa jewawut ditutu, jadi tidak hanya makan nasi… supaya awet itu kalau ada pisang di lahan itu nanti dipanen dan dijual supaya bisa ditukarkan apa (bahan pangan lain), kalau tidak ya pisang itu digethuk, nanti bisa dicampur dengan apa gitu supaya bisa mengurangi (gabah)… tetap kenyang, lalu saya juga menanam uwi dan kimpul. Uwi bisa digethuk dengan singkong. Umpamanya ngliwet ya juga bisa dikurangi. Bahkan (nasi beras) bisa tidak kemakan, oleh karena itu memasak nasi bisa dikurangi. Panen jewawut juga banyak sekali, bisa digethuk, bisa diolah yang lain. Tapi memang dulu itu capek nutu.”

opini_diah_1
Umbi singkong paska dipanen (Foto: dokumentasi penulis)
opini_diah_2
Tanaman kimpul (Foto: dokumentasi penulis)
opini_diah_3
Umbi kimpul setelah dipanen (Foto: dokumentasi penulis)

 

Apa yang dikisahkan oleh Wartijem di atas adalah kondisi yang ia alami ketika ia mulai remaja, sekitar tahun 1960-an. Saat itu, Wartijem, seperti warga lain di Wintaos, Gunungkidul, menggantungkan kehidupan mereka sepenuhnya dari hasil tani. Model pertanian subsisten yang mereka terapkan, membuat apa yang ditanam di lahan, berpengaruh langsung pada konsumsi harian. Sistem tadah hujan  dalam budidaya tani, membuat mereka hanya bisa menanam saat musim hujan saja. Setiap jenis tanaman, ditanam satu kali dalam setahun. Kondisi ini membuat mereka menanam beragam jenis tanaman pokok (singkong, kimpul, uwi, ubi jalar, padi, jagung, jewawut, sorghum, jail-jali) untuk berjaga-jaga, seandainya salah satu tanaman gagal panen, masih bisa mengharapkan yang lain. Memasak pangan beragam, memperpanjang waktu penyimpanan stok pangan pokok, menjadi cara Wartijem dan para petani di Wintaos kala itu, untuk mencukupkan pangan keluarga hingga panen yang akan datang.

Menanam beragam tanaman pangan lalu menyimpan hasil panennya dan mengatur penggunaanya, merupakan langkah-langkah Wartijem, yang kini berusia 71 tahun, untuk mencukupkan pangan keluarganya. Keberagaman pangan berarti memperpanjang durasi stok simpanan pangan,  mendukung ketercukupan pangan hingga panen yang akan datang. Semua jenis tanaman yang dipanennya, dimasak secara bergantian.  Hingga tahun 1990-an, makanan pokok di Keluarga Wartijem berganti-ganti. Tidak harus selalu nasi (padi), tetapi bisa bervariasi sesuai simpanan yang dimiliki.  Di kala itu, ketika panen jagung putih, Wartijem masih me-nutu jagung tersebut, diolahnya menjadi bledak untuk pangan pokok keluarganya sampai stok jagung putih habis. Begitu pula, saat memiliki hasil panen jali-jali  dan jewawut, akan diolahnya sebagai makanan pokok keluarga.

Pada masa itu, komunitas petani di Wintaos dan sekitarnya, harus melakukan pergiliran pangan pokok, seperti beragam umbi dan serealia lain. Ini merupakan salah satu strategi pemenuhan dan mencukupkan kebutuhan pangan untuk hidup di alam kars yang memiliki keterbatasan air dan lahannya dianggap kurang produktif untuk pertanian. Memproduksi pangan sendiri adalah satu syarat untuk bertahan hidup saat itu. Bertani dengan mengadaptasi alam dengan sistem tadah hujan, bertani di lahan kering, dengan sistem polikultur. Gunungkidul hingga sebelum 1980-an, masih terbatas akses jalan dan sarana transportasi umum. Seberapa jauh mobilitas, dibatasi oleh kemampuan kaki melangkah. Informasi juga belum terbuka dan mudah. Belum ada listrik, jadi penerangan terbatas.

Untuk  bertahan hidup di alam kars, termasuk dalam menjamin kebutuhan pangan, strategi umum yang masyarakat Wintaos terapkan, di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Berupaya menanam semua kebutuhan pangan, baik karbohidrat, kacang-kacangan, sayur, rempah dan buah.
  2. Memperbanyak jenis karbohidrat yang ditanam, baik beragam jenis umbi-umbian, maupun beberapa jenis serealia, yang mereka atur sebagai pangan pokok dan pangan cadangan,
  3. Penyimpanan, pengaturan dan pergiliran pangan pokok harus dilakukan, mengingat mereka hanya bisa menanam di musim hujan, sementara kebutuhan pangan tiap hari, sepanjang tahun.
  4. Tidak menjual pangan pokok, hanya menjual pangan non pokok, merupakan nilai umum yang mereka pegang saat itu.

Wartijem bersaksi, dengan menerapkan strategi dan pengaturan pangan di atas, sejak ia kecil hingga saat ini ketika dia berusia senja, punya anak dan cucu, keluarganya tidak pernah kelaparan. Selalu cukup. Pangan tak pernah kurang, bahkan surplus hingga musim panen berikutnya. Selanjutnya, strategi pangan yang diterapkan oleh komunitas petani di Wintaos, terutama sebelum 1980-an tersebut di atas, bisa menjadi inspirasi dan pelajaran yang relevan bagi kita, terutama dalam menghadapi perubahan ekologis dan iklim yang berdampak pada degradasi lahan, air dan sumber daya genetik, yang menjadi ancaman serius bagi produksi pangan untuk pemenuhan pangan dunia.

Sistem Pangan Global, Senjata Makan Tuan

Di era globalisasi, supply pangan sebagian besar manusia di dunia, cenderung dikuasai dan dikelola secara global, lintas negara. Produksi pangan dilakukan oleh industri ‘raksasa’ pangan. Model pertanian yang diterapkan adalah sistem monokultur. Setiap jenis tanaman, dibudidayakan di atas lahan ribuan hektar. Kebutuhan lahan yang tinggi, membuat alih fungsi lahan dan penggusuran lahan tak terelakkan. Di banyak wilayah, banyak terjadi pembabatan hutan-hutan alam dan pengurugan rawa untuk menyediakan lahan produksi pangan monokultur tersebut. Orientasi produktivitas juga mengarahkan penerapan benih unggul yang rakus hara dan sarana produksi pertanian, seperti pupuk dan pestisida kimiawi yang eksploitatif terhadap tanah, air dan ekosistem.

Demi efisiensi dan orientasi ekonomi dalam produksi pangan, industri pangan cenderung mengarahkan konsumsi karbohidrat, pada padi, gandum dan jagung. Hal senada juga untuk produksi bahan pangan non karbohidrat, seperti sawit, tebu, kedelai, alpokat, dll. Jenis-jenis tanaman pangan tertentu dikembangkan secara intensif menjadi komoditi yang bisa diciptakan pasarnya. Untuk ribuan jenis tanaman pangan lain yang tak menjadi bagian arus besar komoditi pangan, tersingkir, tak dikonsumsi, tak dibudidayakan, dan lambat laun punah. Semakin seragamnya jenis pangan manusia di dunia, membawa resiko tersendiri. Pangan yang seragam artinya semua orang memiliki kebutuhan pangan yang sama. Ketergantungan pada keberadaan jenis pangan tersebut, sangat tinggi. Konsekuensinya, pangan pokok tersebut harus diproduksi besar-besaran dan masif supaya mampu mengenyangkan banyak orang di dunia.

Perkembangan teknologi dan pengetahuan mendukung terciptanya sistem transportasi yang memungkinkan mengirimkan bahan pangan lintas negara dan benua. Jarak tidak menjadi masalah. Dalam hal ini, pangan dilihat sebagai komoditi, barang yang diperdagangkan. Hubungan perdagangan antar negara, memungkinkan Indonesia yang tak memproduksi gandum, namun masyarakatnya menjadikan  gandum sebagai empat besar dari makanan utama sehari-hari, hingga Indonesia bisa menjadi juara pertama importir gandum di dunia. Perdagangan pangan untuk memenuhi ketahanan pangan memang terasa praktis dan ekonomis, namun bukan berarti nir konsekuensi. Praktik produksi dan distribusi pangan skala raksasa yang berorientasi ekonomi, berkontribusi pada perubahan iklim dan degradasi ekologi. Kondisi yang pada akhirnya berbalik mengancam produksi kebutuhan pangan kita. Seperti bumerang yang dilempar dan berbalik mengenai kita sendiri. Senjata makan tuan.

Belajar dari Strategi Pangan Lokal

Paling tidak, dari potret 3 generasi yang masih hidup saat ini, komunitas petani Wintaos telah membuktikan bahwa dengan strategi pangan yang mereka terapkan, selain menjadi solusi untuk mencukupkan kebutuhan pangan, penerapannya mampu meminimalisir kerusakan ekologi. Masih ada sumber daya alam yang bisa diwariskan bagi anak dan cucu. Melalui diversifikasi pangan, mereka mengkonsumsi beragam pangan pokok, baik umbi-umbian maupun serealia. Konsumsi karbohidrat beragam tentu tak bisa dilepaskan dari model budidaya polikultur dengan menanam beragam jenis tanaman pangan yang bisa tumbuh baik di Wintaos.

Belajar dari Mbok Wartijem dkk, kita seperti diingatkan, jika dengan mengkonsumsi, menanam dan melestarikan beragam tanaman pokok, sumber karbohidrat yang tumbuh baik dan banyak ditemui di lokal daerah masing-masing, bisa menjadi rekomendasi penting bagi upaya membangun ketercukupan pangan. Tiap daerah memiliki potensi sumber daya genetik tanamannya sendiri. Potensi tersebut yang seharusnya dikuatkan, bukan justru diseragamkan. Sangat penting untuk mendukung setiap daerah dalam mengembangkan sumber daya pangan sendiri sehingga tidak tergantung hanya pada satu jenis pangan. Tuntutan produksi pangan secara masif bisa direduksi. Tiap daerah berkesempatan mengupayakan ketahanan pangan mereka masing-masing.

opini_diah_4
Thiwul sebagai pangan pokok, dimakan bersama lauk pauk khas Gunungkidulan. Thiwul dibuat dari singkong kering (Foto: dokumentasi penulis)

Banyak daerah di Indonesia memiliki keragaman umbi-umbian yang luar biasa. Singkong, kimpul, talas, ubi jalar, uwi, ganyong, gembili, masih banyak dijumpai di sebagian besar daerah. Umbi-umbian tersebut potensial menjadi bagian dari strategi pangan. Sejauh ini, umbi-umbian belum banyak diangkat sebagai pangan pokok kita. Seandainya kita semua, para konsumen, mau ‘mendidik lidah’ dan mengubah sistem konsumsi, dengan menambahkan umbi-umbian dalam daftar pangan pokok, mengurangi fokus konsumsi  pada nasi dan terigu, begitu pula para produsen juga menanam beragam umbi-umbian, niscaya kekhawatiran akan krisis pangan bisa direduksi. Tidak perlu menunggu kebijakan pemerintah untuk mengubah pola makan kita. Strategi pangan bisa dimulai dari diri kita dan keluarga. Paling tidak dengan mulai menjadwalkan umbi-umbian sebagai salah satu sumber karbohidrat dalam menu mingguan kita. Perubahan memang seharusnya dimulai dari diri kita sendiri.

 

 

 

Diah Widuretno

Diah Widuretno

Penggagas dan pendiri Sekolah Pagesangan, Wintaos, Girimulya, Panggang-Gunungkidul, Yogyakarta. Sekolah Pagesangan yang diinisiasi sejak 2008, merupakan komunitas belajar mandiri yang bercita-cita ingin membangun keberdayaan dari desa. Tahun 2017 Diah telah merampungkan penulisan dan mempublikasikan buku berjudul “Gesang di Lahan Gersang”, sebuah dokumentasi proses inisiasi dan pengawalan pendidikan kontekstual ala Sekolah Pagesangan. Saat ini Diah aktif memfasilitasi dan berproses di Sekolah Pagesangan dan mendukung Kedai Sehat Pagesangan, juga menjadi kawan diskusi bagi kawan-kawan muda yang mau bergerak dari desa. Diah juga belajar bertani dengan mengelola kebun tanaman pangan-nya dan menulis untuk beberapa media online.

Related Posts

[Opini] Adopsi Pertanian Berbasis Agroekologi dan Regeneratif pada Sistem Pangan Indonesia untuk Melampaui Komitmen Iklim Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia

[Opini] Adopsi Pertanian Berbasis Agroekologi dan Regeneratif pada Sistem Pangan Indonesia untuk Melampaui Komitmen Iklim Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia

[Opini] Membangun Ekonomi Regeneratif Melalui Bank Waktu (Time-Bank)

[Opini] Membangun Ekonomi Regeneratif Melalui Bank Waktu (Time-Bank)

[Opini] Perjuangan Peduli Lingkungan Emansipatoris:   Menggali Makna di Tengah Ketidakberdayaan

[Opini] Perjuangan Peduli Lingkungan Emansipatoris:  Menggali Makna di Tengah Ketidakberdayaan

[Opini] Pengalaman Belajar Yang Mendidik

[Opini] Pengalaman Belajar Yang Mendidik

No Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

edisi

Terbaru

Rubrik

Recent Comments

STATISTIK

Online User: 0
Today’s Visitors: 11
Total Visitors: 59716

Visitors are unique visitors