![[Rumah KAIL] Belajar dari Permainan Layang-layang di Sawah](https://proaktif.kail.or.id/wp-content/uploads/2024/02/RK2-1364459.jpg)
[Rumah KAIL] Belajar dari Permainan Layang-layang di Sawah
Kebun KAIL berbatasan dengan sungai. Di seberang sungai tersebut terdapat hamparan sawah yang luas. Setiap musim panas, sawah tersebut menjadi tempat bermain layang-layang untuk anak-anak dari Kampung Cigarukgak dan sekitarnya. Kalau kebetulan ada waktu, kadang saya menyempatkan berjalan-jalan sore-sore di Kebun KAIL lalu memandang ke arah sawah tersebut dan mengamati anak-anak bermain.

(Foto: Dokumentasi Pribadi)
Permainan layang-layang adalah permainan yang sangat umum di Kampung Cigarukgak. Anak-anak bisa memperoleh sehelai layang-layang dengan membeli di warung seharga Rp 1000,- sampai Rp 5.000,- tergantung kualitas layang-layangnya. Mereka juga bisa memilih benang, dari benang kenur yang tidak tajam atau benang gelasan yang tajam dan bisa memutuskan benang layang-layang yang lain. Anak-anak juga dapat membuat sendiri layang-layang mereka.
Kalau saya amati anak-anak yang bermain layang-layang di sawah itu, sepertinya yang paling seru dari permainan layang-layang bukanlah keindahan layang-layangnya, melainkan berburu layang-layang putus. Kalaupun membeli, harga layang-layang sebetulnya tidak terlalu mahal. Hampir semua anak bisa membelinya atau membuatnya. Meskipun sulit, berburu layang-layang sepertinya menjadi keasyikan atau permainan tersendiri. Di tengah beberapa anak yang menerbangkan layang-layang mereka, ada beberapa anak yang berlari-lari ke sana kemari mengejar layang-layang yang putus. Usia anak-anak tersebut beragam. Saya menebak yang berlari paling depan kemungkinan anak-anak SD kelas lima atau enam, atau di awal SMP. Di belakang mereka, ikut berlari anak-anak yang lebih kecil, mungkin usia SD kelas tiga atau empat, dan di belakangnya lagi anak-anak yang lebih kecil lagi, mungkin SD kelas dua atau satu, dan yang paling belakang adalah anak-anak yang kecil sekali yang saya perkirakan mungkin sekolah TK atau belum sekolah.
Senang sekali melihat anak-anak itu berburu layang-layang. Sebagian dari mereka membawa bambu panjang sementara sebagian yang lain tidak membawa apa-apa. Anak-anak yang lebih besar berlari lebih cepat dan bisa dipastikan merekalah yang akan mendapatkan layang-layang putus tersebut. Meskipun demikian, anak-anak yang kecil tidak putus asa. Mereka ikut berlari-lari mengejar layang-layang. Meskipun lebih lambat larinya, jatuh bangun dan bahkan sampai kecemplung sawah. Kalau saya berlari seperti mereka, mungkin saya juga sudah kecemplung sawah juga karena pematang sawah tempat berlarinya sempit sekali. Meskipun berulang kali jatuh, anak-anak kecil itu bangun lagi, ditolong oleh anak yang lebih besar. Lalu mereka lari lagi mengikuti kakak-kakaknya.
Saya senang sekali melihat semangat anak-anak tersebut. Saya kagum pada anak-anak kecil yang pantang menyerah mengejar layang-layang. Mereka tetap berlari-lari mengejar layang-layang meskipun ketinggalan dari kakak-kakak yang lebih besar. Yang lebih menyenangkan lagi adalah melihat sang kakak yang akhirnya mendapatkan layang-layang, pada saat ia mendapatkan layang-layang itu, layang-layang itu ternyata diberikannya kepada adik yang paling kecil. Kemudian mereka berdua berjalan pulang dan diikuti dengan rombongan teman-temannya yang tidak mendapatkan layang-layang putus. Si adik memegang layang-layangnya dengan senang, sementara wajahnya memerah dan penuh keringat. Sebuah akhir yang menyenangkan.

(Foto: Dokumentasi Pribadi)
Di hamparan sawah itu, banyak sekali proses belajar yang bisa kita petik. Misalnya dari permainan layang-layang tersebut. Dari cerita di atas, kita bisa belajar tentang banyak hal. Pertama, tujuan utama permainan bukanlah untuk memenangkan sesuatu, tetapi untuk merasa gembira. Anak-anak itu tetap gembira, meskipun mereka berlarian sampai sore dan tidak mendapatkan layang-layang. Mereka senang berlari, bersama kawan-kawannya, mengejar layang-layang putus. Kedua, kalaupun memenangkan sesuatu, hasilnya dibagi kepada sang adik yang lebih kecil, yang senang mendapatkan hadiah dari sang kakak. Kalaupun yang mendapatkan tidak punya adik, ketika layang-layang putus itu dimainkan, mereka juga memainkannya bersama-sama. Mereka memiliki persahabatan. Di dalam persahabatan ada solidaritas. Ketiga, karena berlari, mereka jadi sehat karena tubuhnya bergerak. Mereka menjadi sehat karena berada di alam bebas yang udaranya masih bersih dan segar.
Bagi anak-anak zaman sekarang, hal-hal sederhana yang dialami oleh anak-anak di Kampung Cigarukgak adalah kemewahan. Melalui sebuah benda sederhana bernama layang-layang, ditambah sebuah ruang yang bernama hamparan sawah, anak-anak ini mendapatkan kesenangan, persahabatan dan kesehatan. Sementara untuk anak-anak kelas menengah perkotaan, akses ke alam mungkin merupakan sesuatu yang mahal. Meskipun mereka bisa membeli puluhan atau ratusan layang-layang, ruang untuk mereka memainkannya sangat terbatas. Ruang-ruang bermain seperti hamparan sawah dan ruang terbuka lainnya makin sulit ditemukan. Kalaupun ada, biasanya sudah menjadi tempat wisata berbayar. Mengapa kita harus membayar mahal untuk mendapatkan hal-hal yang sederhana?

(Foto: Dokumentasi Pribadi)
Masalahnya, membayar mahal untuk sesuatu (baik yang dibutuhkan maupun tidak dibutuhkan) adalah baik untuk pertumbuhan ekonomi. Ekonomi dianggap tumbuh kalau ada belanja. Kalau orang tidak berbelanja maka tidak ada pertumbuhan ekonomi. Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, maka segala sesuatu sebaiknya dijadikan komoditi, supaya bisa dipertukarkan dengan satuan uang. Semakin banyak dan mahal transaksinya, semakin baik bagi pertumbuhan ekonomi. Turunannya, semua yang gratis tidak baik untuk pertumbuhan ekonomi. Jadi, apa yang dapat kita peroleh secara cuma-cuma dari alam tidak baik untuk pertumbuhan ekonomi.
Pertanyaannya mengapa ekonomi harus tumbuh? Para ahli ekonomi pembangunan mengasumsikan bahwa pertumbuhan ekonomi akan memberikan efek menetes dari kue ekonomi itu ke seluruh masyarakat. Masalahnya kapan menetesnya, berapa lama dan berapa banyak? Tetesan kue ekonomi itulah yang akan meningkatkan kehidupan masyarakat. Pertanyaannya, mengapa harus menunggu tetesan kue ekonomi, kalau masyarakat bisa mengakses seluruh kebutuhan hidupnya dari alam secara gratis? Apa masalahnya kalau kita tidak punya pertumbuhan ekonomi tetapi masyarakat bisa dengan mudah mendapat sumber penghidupan dari alam?
Masalahnya adalah pertumbuhan ekonomi itu menjadi ukuran untuk membandingkan kekuatan ekonomi antar bangsa. Negara-negara yang dianggap kuat ekonominya adalah negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi. Apakah benar begitu? Bagaimana kalau ekonomi tumbuh, tetapi masyarakat harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan makanan, tempat tinggal dan juga permainan dan pembelajaran? Apakah kondisi ini lebih baik? Bagaimana kalau Indonesia menjadi negara terkuat di bidang ekonomi, tetapi biaya sekolah mahal sekali, kita perlu bayar mahal untuk dapat air bersih dan makanan, kita harus bayar dan pergi ke tempat yang jauh untuk berlibur, olahraga dan berada di alam. Atau apakah kita lebih memilih pertumbuhan ekonomi rendah, tetapi akses ke seluruh penghidupan lebih mudah dan murah, atau langsung bisa ambil dari alam. Mana yang ingin kita pilih?
Kebun KAIL adalah sebuah kebun di mana hasilnya tidak diperdagangkan atau menjadi komoditi. Akses ke Kebun KAIL terbuka untuk umum. Siapa saja yang membutuhkan bisa mengakses dan memanen hasil Kebun KAIL asalkan tidak untuk diperjual belikan. Di Kebun KAIL ada sebuah pohon nangka dan pohon rambutan yang setiap panen kami membaginya kepada para tetangga. Tergantung dari jumlah panennya, semua kebagian, kadang banyak, kadang lebih sedikit. Pohon nangka itu banyak sekali buahnya sampai setiap tetangga kebagian. Demikian juga jambu, markisa, berry dan banyak lagi. Anak-anak datang untuk panen setiap hari. Mereka panen, makan dan berbagi dengan kawan-kawannya. Mereka juga mengejar layang-layang putus yang terbang ke Kebun KAIL. Kadang membawa bambu panjang untuk menjolok layang-layang yang nyangkut di cabang-cabang pohon yang tinggi. Senang sekali mereka itu. Di Kebun KAIL, sebagaimana juga di hamparan sawah di seberang sungai, menghasilkan banyak kegembiraan tanpa harus memiliki uang. Mengetahui ini dan ikut menikmatinya adalah sebuah kegembiraan tersendiri. Saya ingin sebanyak mungkin orang dapat menikmati alam secara gratis dan menikmati manfaat dari situ.
No Comment