![[Opini] Krisis dan Transformasi](https://proaktif.kail.or.id/wp-content/uploads/2022/06/Opini-1-7841825-800x600.jpg)
[Opini] Krisis dan Transformasi

CERITA VIKTOR, PENYINTAS KAMP KONSENTRASI NAZI
Usia pernikahan Viktor baru saja menginjak 2 tahun. Karirnya sedang menanjak dengan menjadi Kepala Departemen Neurologi di Rumah Sakit Rothschild di Wina-Austria. Namun, tentara Nazi menangkap Viktor dan istrinya, lalu memasukkannya ke Kamp Konsentrasi. Lalu semuanya tidak pernah lagi sama. Karirnya hilang dalam sekejap dan dipisahkan dari istrinya untuk kemudian mendapati sang istri tewas sambil mengandung buah cinta mereka. Kehidupan di Kamp Konsentrasi adalah suatu keterpaksaan, segalanya diatur oleh tentara Nazi. Dari bekerja di rumah sakit, dia dipaksa untuk melakukan pekerjaan kasar yang tidak tentu. Melihat tahanan lainnya yang mati satu per satu, sesungguhnya rentan untuk membuat mentalnya menjadi hancur dalam keputusasaan, ditambah lagi oleh berbagai siksaan dari tentara Nazi. Akan tetapi, Viktor menjaga kewarasannya dan menemukan bahwa walaupun kebebasan ragawinya direnggut, tetapi kebebasan berpikir seseorang takkan pernah dapat dirampas. Ketika Perang Dunia II berakhir, Viktor tetap hidup dan melanjutkan kehidupannya untuk membagikan kisahnya yang berhasil bertahan hidup dari neraka Kamp Konsentrasi. Pengalaman yang getir itu malah mengantarkannya pada buah karya terbaiknya, Logoterapi. Viktor yang dimaksud adalah Viktor Emil Frankl atau yang lebih dikenal dengan Viktor Frankl.
PANDEMI, PEMICU TRANSFORMASI
Beranjak ke tahun 2020,
Ben, seorang pria paruh baya, sampai pada tahun itu berprofesi sebagai pekerja kantoran di salah satu perusahaan swasta nasional. Hidupnya relatif normal sebagaimana pekerja kantoran pada umumnya. Masuk kerja jam 8 pagi dan pulang jam 5 sore. Hari kerja adalah Senin sampai dengan Jumat, lalu Sabtu-Minggu merupakan hari libur. Ketika pemerintah mengumumkan situasi pandemi Covid-19 dan mulai menerapkan kebijakan penguncian wilayah (lockdown), situasi perusahaan perlahan mulai memburuk dan sampai akhirnya di bulan ke-4 terpaksa melakukan PHK terhadap sebagian besar karyawannya. Ben, salah satunya. Kariernya yang tergolong telah mapan di perusahaan itu, sungguh membuatnya tidak siap untuk beralih profesi. Terlebih ketika banyak perusahaan lain juga mengalami kesulitan sehingga peluang beralih perusahaan menjadi tidak mungkin. Terpaksa, dia beralih pada pekerjaan yang berorientasi harian, seperti ojek online, kurir pengantar paket, dll. Pada akhirnya, kondisi itu mengantarkannya pada Youtube, yang biasanya menjadi saluran hiburan diri ketika penat dengan kerjaan ataupun sebuah pelarian singkat di kala menunggu teman. Kini dia terpikir untuk beralih dari seorang penonton menjadi penyedia video yang ditonton. Keraguan menggelayuti dirinya. Namun perlahan, terdorong oleh kondisi, dia pun mulai mempelajari hal-hal terkait pembuatan video. Lalu mengunggah video pertamanya berupa kegiatan sehari-harinya menjelajah kota tempat tinggalnya saat menjalankan profesi sebagai ojek online. Video itu tidak memiliki penonton, lalu perlahan mulai menarik perhatian warganet dengan video lainnya. Singkat cerita, Ben kemudian menemukan Youtube sebagai sarana baru untuk menyambung kehidupannya, bahkan lebih dari itu karena dia bisa mengaktualisasikan dirinya melalui video buatannya, sesuatu yang sebelumnya dia pikir hanya bisa didapatkan dengan berprofesi sebagai pekerja kantoran.
Diah, seorang wanita muda berusia mendekati awal 30-an, pada tahun itu sedang menjalani karier sebagai seorang pramugari senior. Memasuki kondisi pandemi, seluruh penerbangan praktis tidak lagi memiliki penumpang yang dapat melakukan perjalanan. Tidak ada kejelasan kapan industri penerbangan akan kembali normal, sehingga banyak maskapai merasa lebih bijak merumahkan para pramugari dan pilot. Diah dan rekan-rekan pramugarinya hanya dapat menerima keputusan tersebut karena memahami situasi kondisi yang jelas tidak dikehendaki oleh siapapun. Pekerjaan impiannya itu terpaksa dia lepaskan. Sempat terpuruk dalam depresi, lambat laun Diah pun mulai move on dan melakukan berbagai pekerjaan untuk menyambung hidupnya lagi. “Yang penting halal”, begitu pikirnya. Sempat menjadi taksi online, Diah teringat dulu sering membuat kue kering untuk membantu ibunya berjualan. Walau sempat ragu dan malu, Diah membulatkan tekad berjualan kue kering tersebut. Memanfaatkan berbagai media sosial untuk memasarkan produknya, Diah menemukan hasrat hidupnya kembali sebagai pembuat kue.
Ben dan Diah adalah nama karangan saya saja. Kisah hidup mereka pun tidak bersumber dari kisah orang yang benar-benar ada, hanya sekedar merangkum dari situasi kondisi yang (mungkin) dialami oleh banyak orang selama pandemi Covid-19 berlangsung. Tidak semua orang yang berhasil beradaptasi untuk mempertahankan kualitas hidupnya, apalagi yang mampu memperbaiki kondisi hidupnya menjadi lebih baik. Namun, situasi pandemi yang kita alami bersama memang sebuah krisis dan di dalamnya tetap terdapat suatu ruang, atau mungkin juga layaknya persimpangan jalan, di mana kita masih dapat membuat keputusan atas kelanjutan hidup kita.
Krisis dapat mendera siapa saja dan terjadi kapan saja, terutama ketika ia datang dari luar, seperti misalnya bencana alam atau peperangan. Kalau hanya melihat dari luar, maka krisis itu mungkin hanya sekedar tragedi yang ditangisi saja. Seperti halnya yang terjadi pada Viktor Frankl. Bisa saja Frankl memilih untuk menyerah pada keadaan, berputus asa, melepaskan mimpinya sebagai psikolog, lalu mati karena kondisi fisiknya semakin menurun. Bayangkan bila kita ada di posisi Frankl, tidak tahu kapan perang berakhir, ancaman kematian mengintai setiap saat. Namun Frankl justru mendapatkan pencerahan dan peneguhan dengan berada di Kamp Konsentrasi, serta mengalami tragedi kehilangan seluruh anggota keluarga intinya. Dia tetap menapaki mimpi atau cita-citanya menjadi seorang psikolog yang akan membagikan ilmunya di hadapan para mahasiswa. Dia menggunakan ilmu dan pengalamannya di bidang psikiatri untuk mengamati perilaku para tawanan Kamp Konsentrasi, yang kemudian membawanya pada perumusan metode Logoterapi yang telah membantu banyak orang dalam menemukan arah hidupnya. Kisahnya selama di Kamp Konsentrasi dituangkan dalam buku Man’s Search for Meaning menjadi inspirasi kebangkitan untuk banyak orang melintasi zaman.
Ben dan Diah bukanlah sosok seperti Viktor Frankl yang sampai harus kehilangan seluruh anggota keluarganya. Namun kehilangan mereka adalah hancurnya kemapanan hidup yang telah mereka rengkuh, zona nyaman itu hilang dan berganti menjadi zona krisis yang penuh ketidakpastian. Sama seperti kebanyakan orang yang terdampak pandemi. Profesi yang biasanya dijalankan sehari-hari, mendadak tidak lagi dapat dilakukan karena berbagai pembatasan yang dilakukan. Pekerjaan yang biasanya dipandang sebagai pemberi jaminan hidup, ternyata terbukti tidak terjamin dari krisis. Profesi yang dikira panggilan hidup menjadi dipertanyakan. Inilah persimpangan hidup, bagi mereka yang diterpa krisis.
Apakah menyerah pada keadaan, lalu musnah? Atau melakukan pencarian lagi, berpeluh darah, hingga akhirnya menemukan sesuatu yang baru?
Tidak semua orang harus beralih menjadi Youtuber, ojek online, kurir paket…hanya karena kehidupan menjadi semakin tergantung pada penggunaan teknologi digital. Ataupun mendadak harus menjadi pedagang / pengusaha. Setiap kita memiliki panggilannya masing-masing, suatu peran yang tidak dapat digantikan oleh siapapun dalam hidup ini. Jalan penemuan atas panggilan itu bisa jadi sangatlah unik untuk orang per orang, namun demikian kita dapat menemukan inspirasi perjalanan dari kisah hidup orang lain yang bisa mengantarkan kita pada jalan penemuan kita. Sebagaimana sepenggal kisah hidup Viktor Frankl yang saya kutip untuk tulisan ini, Anda bisa mencari inspirasi kisah hidup orang lain yang harus berjuang untuk bangkit dari krisis. Yang paling penting adalah menggali ke dalam diri dan fokus pada kebangkitan. Masa lalu yang indah itu tidak akan kembali lagi dan masa kini membutuhkan diri kita yang baru.
“Saat kita tidak mampu lagi untuk mengubah situasi, kita ditantang untuk mengubah diri kita sendiri” – Viktor E. Frankl dalam buku Man’s Search for Meaning.
Krisis jelas terlihat buruk, pada awalnya, dan tidak ada yang ingin mengalaminya. Namun dengan menyelaminya, bercengkrama, dan memahami maksud kedatangannya bagi diri kita akan menjadi awal yang baik untuk bangkit. Dari sana, kita akan menemukan sebuah sisi yang tidak akan pernah dapat terlihat bila hidup kita baik-baik saja. Dengan melihat sisi yang baru itu, kita semakin mengenal diri kita, menjadi pribadi yang utuh dan semakin tangguh dalam menghadapi krisis. Bila sekali waktu, kita hanya mampu mengurus diri sendiri untuk bangkit, mungkin di kala yang akan datang, kita mampu menopang orang lain untuk bangkit bersama.
No Comment