[Jalan-jalan] Tiga Hari di Kampung ‘Lawang Angin’

[Jalan-jalan] Tiga Hari di Kampung ‘Lawang Angin’

Selalu ada keasyikan manakala menantang diri. Mendatangi sebuah tempat, tanpa tahu detail kondisinya seperti apa. Perjalanan kali ini bukan ‘nowhere to go trip‘ melainkan sebuah perjalanan dengan misi personal untuk mendidik diri dalam berbagi. Berbagi apa yang ada sekiranya bisa dibagi, ilmu, cerita, bahkan sekedar senyuman bulan sabit untuk mereka. Kebermanfaatan tanpa embel-embel apapun, ‘estuning’ muncul dari sanubari. Ketika mengunjungi tempat baru, saya seolah memasuki ‘ruang kuliah’ di mana manusia-manusia yang saya temui adalah sumber belajar dan sumber amatan terpenting.

Ini adalah kali ketiga menempuh perjalanan malam menyusuri negeri antah berantah, yang sama sekali belum pernah saya sentuh. Sensasinya memang luar biasa. Pegal dan lekatnya mata adalah tantangan tersendiri dalam menempuh perjalanan kali ini. Dalam perjalanan itu, saya memaksa mata untuk tetap terbuka, supaya tak membahayakan motor. Namun angin sangat membelai mata, hingga  membuat mata saya beberapa kali terkantuk-kantuk.

Melewati Kawalu, Karang Nunggal, Pamijahan, membuat tak berhenti mengucap syukur. Sungguh tempat yang masih asing, karena ini adalah kali pertama menuju sebuah tempat bernama Cipatujah. Sebuah tempat yang dulu sempat saya masukkan sebagai salah satu tempat yang musti saya kunjungi. Sebagai pendidik paruh waktu di salah satu sekolah swasta di Bandung, membuat saya tidak berpikir dua kali manakala Pak Aripin mengajak saya ke Cinengah, Cipatujah. Hanya sayangnya, saat pertama kali tiba di Cipatujah, hari sudah sangat larut, sehingga saya tak bisa menikmati indahnya hamparan pasir pantai di sisi kiri jalan yang sepertinya begitu indah. Namun syahdunya atmosfer malam, tetap saya nikmati sempurna. Area wisata Cipatujah terlihat memiliki jalan yang relatif baik, meski banyak lubang atau cekungan di sepanjang jalan.  Mari kita abaikan itu untuk saat ini, karena masih ada kondisi jalan yang jauh berlipat buruknya.

Saat tiba di Cinengah, malam temaram, hawa khas pantai, tertutupi hembusan angin kencang . Tak ada penerangan di jalan menuju rumah yang menjadi ‘basecamp’ kami selama kegiatan, hanya mengandalkan rembulan yang malam itu pun tampak bersembunyi. Di luar rumah Pak Kardi masih gelap gulita, tak terlihat apapun. Hanya suara angin yang menderu layaknya suara riuh gemuruh ombak. Untuk saya yang tak terbiasa dengan kejadian seperti itu, tentu saja sedikit panik. Tak satupun yang bisa saya lakukan selain berzikir dan berpasrah. Sementara itu, teman-teman yang lainnya sudah terbiasa dengan kondisi itu. Hingga suatu saat, saking kuatnya angin, membuat seisi rumah terbangun manakala pintu rumah yang terkunci, tiba-tiba terbuka diterjang angin kencang. Sesaat dada saya bergemuruh cemas. Namun mereda ketika tuan rumah menenangkan kami, “Biasa di dieu mah pami caket janari sok tarik angin na (sudah biasa, kalau menjelang subuh, anginnya suka kencang).”

Perjalanan selama tiga jam dari Kota Tasikmalaya menggunakan motor, rupanya cukup membuat badan lelah, hingga cemas pun tergantikan dengan lelapnya tidur di atas kursi panjang jelang subuh hari. Sementara teman-teman yang lain (Pak Harun, Pak Usep dan Pak Aripin, tidur beralas tikar).

Saat malam berganti pagi, ajaib sekali ! Nampak bangunan dengan sebuah mushola sederhana di sebelah kanannya. Bangunan sekolahnya cukup kokoh, mungkin baru diperbaiki. Bangunan sekolah berada di tengah-tengah Kampung Cinengah. Lokasinya berada di perbukitan. Dari akses jalan tepi pantai, kami berbelok menanjak, menuju utara. Jalan tak terlalu besar, motor menjadi pilihan paling aman untuk melaluinya. Saya melihat dua pohon kelapa menjulang tinggi di tepian lapangan tempat anak-anak bermain bola. Kadang-kadang ada penduduk yang menyadap nira untuk dijadikan gula kelapa. Saya tertegun melihat kepiawaian pria muda yang tengah menyadap, sampai akhirnya tiba  di bangunan sekolah.

jalan-jalan-yuni-1Pagi itu sesi berbagi bersama para guru. Guru-guru terlihat begitu bersemangat untuk mengikuti kegiatan belajar yang berlangsung selama dua hari. Ada yang menyengajakan diri untuk hadir dari Cieceng. Waktu tempuh dari Cieceng-Cinengah sekitar 2,5 jam perjalanan menggunakan motor. Guru-guru yang datang dari Cieceng menginap di salah satu rumah penduduk. Rupanya saling menitipkan diri (menginap) untuk proses belajar seperti ini, adalah hal yang biasa dilakukan (begitu menurut cerita Pak Usep). Selain guru, ada juga anak SMP lokal dan SMP binaan dari luar Cinengah yang turut menyimak.

 

Hari pertama berlangsung lancar di tengah angin yang masih bertiup kencang, hingga liukan pohon seperti menari-menari. Proses berbagi dipandu oleh Pak Harun dengan pemateri utama Pak Aripin. Sesi menyelami sekaligus menyemangati para pendidik di pelosok adalah salah satu hal yang dirasa penting sebagai bentuk empati bahwa mereka tidak sendiri dalam proses perjuangan menjadi pendidik dan penuntut ilmu. Beberapa referensi bacaan inspiratif pun dikenalkan, yang kelak kami tinggalkan sebagai buah tangan untuk bahan bacaan mereka. Sesi awal diakhiri jelang zuhur, dilanjutkan makan siang menu khas lokal.

Sesi berikutnya dilanjutkan dengan metode belajar yang bisa diaplikasikan oleh guru-guru dengan membuat panduan dan mitigasi potensi daerah setempat. Pemetaan sumber-sumber belajar dilakukan melalui diskusi santai. Merencanakan kegiatan belajar dengan memanfaatkan apapun yang ada di sekitar sekolah. Tak lupa sedikit berbagi tentang proses assessment yang sering membuat kebingungan di kalangan pendidik.

Sesi praktek belajar ke kebun dilakukan di hari kedua. Karena latar belakang Pendidikan saya Biologi (lebih cenderung ke penelitian Ekologi), menjadikan saya membantu para guru untuk merencanakan sebuah proses belajar IPA (Sains) melalui pengamatan di sekitar lokasi Cinengah. Kami melakukan ‘roleplay’, saya berperan sebagai guru dan bapak juga ibu guru berperan sebagai murid.  Kadang selama proses, kami bertukar peran. Merasakan bagaimana rasanya menjadi murid. Lokasi kebun ternyata dekat dengan sekolah, tidak terlalu luas namun terjaga baik, hingga dapat berbuah dan memenuhi kebutuhan keluarga pemilik kebun. Pemilik kebun mempunyai anak kembar yang bersekolah di SD Cinengah. Selama sesi praktek guru-guru nampak menikmati menjadi murid dan menyimak penjelasan pemilik kebun seperti layaknya seorang murid.

Setiap orang pasti memiliki keunikan, begitu juga seorang pendidik. Karakter khas dan ketertarikan diri terhadap sesuatu, akan sangat berpengaruh terhadap penyampaian materi kepada anak didik. Memandang potensi diri dan sekitar menjadi hal yang sering terlupa dalam proses mengikat makna sebuah pembelajaran. Keluasan wawasan pendidik ditantang dalam materi yang disampaikan. Buat saya, semakin luas wawasan pendidik, akan semakin menarik pembahasan materi. Hal ini akan memicu lontaran-lontaran keingintahuan anak menjadi makin meluas. Apalagi dengan sedikit berjalan keluar kelas untuk melakukan pengamatan sederhana. Melalui kegiatan semacam ini, rasa ingin tahu anak-anak akan semakin membuncah. Pertanyaan-pertanyaan akan bertaburan dan proses belajar pun akan semakin mengasyikkan.

jalan-jalan-yuni-2Setelah berdiskusi, guru-guru pun sepakat untuk melakukan ujicoba pembelajaran di kebun jagung. Hal ini diputuskan mengingat salah satu murid mereka ada yang memiliki kebun jagung yang cukup luas di daerah itu. Sebagian lagi memilih untuk mengunjungi salah satu tokoh setempat yang dikenal sangat baik membaca perbintangan dan tanda-tanda alam sebagai acuan untuk memulai bercocok tanam.

 

Mendengarkan pengalaman tokoh (ahli) setempat merupakan hal yang kadang terlupa untuk dikenalkan kepada anak didik. Bayangkan, betapa indahnya manakala hal ini bisa dilakukan bersama anak-anak. Budaya lisan (bercerita) menjadi hal yang lumrah bukan lagi sesuatu yang asing di mata anak-anak. Guru sebagai fasilitator yang menghidupkan suasana akan berperan penting dalam turut sertanya pembiasaan ini.

jalan-jalan-yuni-3Di sela-sela sesi istirahat, biasanya buku-buku yang kelak disimpan sebagai buah tangan dari kami digelar dan membaca bersama. Anak-anak nampak antusias memilih dan membaca buku. Buku masih menjadi sesuatu yang sangat jarang mereka dapatkan selain dari sekolah.  Ketika ditemukan hal yang menarik di mata anak, kami lantas membahasnya. Lontaran-lontaran pertanyaan seru, adalah atmosfer belajar yang tak kalah mengasyikan. Ruang bicara dan ruang dengar secara bergantian, sudah semestinya terbangun dalam suasana belajar.

Namun realisasinya, kadang pendidik terjebak untuk berada di posisi dominan bicara dan minim ruang dengar. Pembelajaran ‘laa tusrifuu’ (tak berlebihan) pun menjadi sangat kontekstual, karena apapun yang berlebihan menjadi kurang baik. Layaknya ‘homeostasis’ pada tubuh manusia, proses pendidikan membutuhkan pribadi-pribadi yang ‘merdeka’ dalam berpikir,  konsisten dalam aplikasi proses belajar , dan tentunya rasa empati terhadap sesama manusia, hewan, tumbuhan dan segala ciptaan Tuhan yang Maha Indah.

Tiga hari di Kampung Cinengah, membuat otak dan hati campur aduk. Antara prihatin, riang bisa berbagi  dan memaknai momen kehidupan yang luar biasa.  Hidup terus berjalan. Apapun kondisinya, semoga selalu ada momen berbagi untuk kita semua.

Catatan :

Lawang angin : Pintu angin

Kampung Cinengah terletak di daerah Cipatujah Tasikmalaya, dapat dilihat dalam film pendek : “Bersama dalam Perbedaan”

https://you.tube/Hrim8iN-f_4

Yuni Yuniati

Yuni Yuniati

Yuni Yuniati, lahir di Bandung, 15 Juni 1979. Menyukai flora & fauna, dan dunia pedesaan (terinspirasi dari tayangan film Postman Pat dan si Unyil di masa kecilnya). Dunia Biologi (Jurusan Biologi UNPAD) dan dunia penelitian membawanya menelusuri daerah-daerah pelosok Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, melalui penelitian pendampingan masyarakat terkait pertanian dan pengolahan pangan. Kegemarannya bermain ke pedesaan dan bercengkerama dengan masyarakat, khususnya / termasuk? anak-anak mengantarkannya ke dunia Pendidikan, sebagai pendidik formal dan nonformal di beberapa sekolah swasta di Bandung ( SD Tunas Unggul, SMP & SMA Mutiara Bunda, SD Catur Cendikia, SMP Kampung Quran Cendikia, Rumah Belajar Ummasa (setara TK & SD), SD Model Aulady (Ciamis), berkegiatan bersama Walagri Aksara, dan Kelas Jauh Cileueur-Barusel (gerakan independent). Di awal tahun 2023, memilih berkegiatan di Jalur Indie melalui YuRiberkebun.

Related Posts

[Jalan-jalan] Menjelajahi Tierra Valiente – Kostarika

[Jalan-jalan] Menjelajahi Tierra Valiente – Kostarika

[Jalan-jalan] Sonya’s Garden

[Jalan-jalan] Sonya’s Garden

[Jalan-jalan] Temu Kangen di Pasar Sehat 2022

[Jalan-jalan] Temu Kangen di Pasar Sehat 2022

[Jalan-jalan] Pemanfaatan Lahan Tidur Perkotaan Menjadi Kebun Komunal Bersama Warga

[Jalan-jalan] Pemanfaatan Lahan Tidur Perkotaan Menjadi Kebun Komunal Bersama Warga

No Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

edisi

Terbaru

Rubrik

Recent Comments

STATISTIK

Online User: 0
Today’s Visitors: 10
Total Visitors: 33531

Visitors are unique visitors